Rabu, 04 Maret 2009

KESALEHAN POLITIK

Politik Islam
Demokrasi adalah kesalehan politik. Politik minus demokrasi akan menjadi kotor dan membahayakan kemanusiaan. Demokrasi yang sejati berisi semangat kebebasan, kesejajaran, dan persaudaraan. (Abd Rohim Ghazali, Kompas 30 Desember 2006)

Demokrasi saat ini merupakan istilah yang sangat populer dan dipahami oleh sebagian besar orang sebagai sistem yang ideal. Bahkan menurut Abd Rohim Ghazali demokrasi adalah kesalehan politik. Benarkah demokrasi adalah kesalehan politik ? Tulisan ini akan mengupas apa dan bagaimana kesalehan politik seharusnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesalehan diartikan ketaatan atau kepatuhan dalam menjalankan ibadah. Ibadah di sisi Allah SWT adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Perintah dan larangan Allah ini meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk kehidupan dalam ranah politik.

Kesalehan politik menunjukkan politik sebagai wahana aktualisasi ketaatan dalam menjalankan perintah Allah. Kesalehan politik bagi setiap muslim diwujudkan dengan memandang politik dalam kaca mata Islam dan menjadikan perintah dan larangan Allah (hukum Allah) sebagai standar aktivitas politiknya.

Politik Islam
Makna politik tidak dapat dilepaskan dari urusan kekuasaan dan pemerintahan (lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Kamus Besar Bahasa Indonesia). Politik dalam perspektif sekularisme merupakan cara untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi (Muh. Zain: Kamus Modern Bahasa Indonesia). Sehingga kekuasaan dalam perspektif ini sekedar alat untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi yang berputar pada urusan harta, wanita, dan kedudukan. Politik bahkan dimaknai suatu seni bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun.

Sebaliknya politik dalam perspektif Islam adalah pengaturan urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri (Abdul Qadim Zallum: Pemikiran Politik Islam). Hal ini berdasarkan hadis Nabi: Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya. (HR Bukhari dan Muslim). Bentuk dan wujud pengaturan urusan umat ini bersandar pada hukum Allah (syariat Islam). Sehingga berdasarkan pemahaman ini kekuasaan bukanlah tujuan tetapi sarana untuk mengatur urusan umat.

Demokrasi: Kesalehan Politik atau Kemungkaran Politik ?

Demokrasi merupakan suatu bentuk sistem pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi dalam perkembangannya ditafsirkan dalam berbagai versi seperti demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan demokrasi sosialis. Pandangan kompromistik tentang demokrasi diajukan oleh David Held yang menggabungkan pemahaman liberal dan Marxis (sosialis). Menurutnya dalam demokrasi seharusnya setiap orang bebas dan setara menentukan kondisi kehidupannya. Menurut Georg Sorensen, demokrasi bersifat dinamis dan akan terus berkembang dengan berbagai jenis dan model demokrasi (Georg Sorensen: Demokrasi dan Demokratisasi).

Terlepas berbagai macam defenisi demokrasi yang jenis dan modelnya akan terus berkembang, Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Demokrasi Sistem Kufur menekankan intisari demokrasi meliputi (1) kedaulatan di tangan rakyat. Makna kedaulatan adalah rakyat sebagai sumber hukum. Rakyatlah yang membuat hukum dan perundang-undangan melalui wakil-wakilnya di badan legislatif. (2) Rakyat sumber kekuasaan, dimana rakyatlah menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin mereka.

Dalam sudut pandang Islam, kedaulatan di tangan Allah SWT. Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum bukan manusia. Perintah dan larangan Allah merupakan hukum yang mutlak ditaati dan diemban manusia. Dengan demikian demokrasi bertentangan dengan Islam, bahkan pertentangan ini bersifat mendasar dan memasuki ranah akidah apabila meyakini manusia sebagai sumber dan pembuat hukum bukan Allah. Sebab Allah berfirman dalam QS. al-An’am: 57 yang artinya “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah,” dan QS. al-Maidah: 44 yang artinya “Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”

Islam mengakui rakyat sebagai sumber kekuasaan. Sebab rakyatlah seharusnya yang mengangkat seorang penguasa melalui bai’at. Sedangkan dalam memilih penguasa caranya (uslub) beragam, bisa digunakan teknik pemilu atau dengan cara lain yang disepakati. Tujuan rakyat memilih dan mengangkat seorang penguasa agar ada seorang pemimpin yang mengemban amanah mengatur urusan umat dengan syariat Islam.

Adapun nilai-nilai demokrasi yang diagung-agungkan seperti keadilan, kebebasan, persamaan dan persaudaraan tidak bersifat universal. Selama ini umat dipaksa secara intelektual untuk memahaminya bersifat universal (netral) yang tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup. Tujuannya agar umat menerima demokrasi sebagai realitas sistem politik dan pemerintahan yang mutlak diadopsi karena tidak bertentangan dengan Islam.

Setiap agama dan ideologi memiliki pandangan berbeda tentang nilai-nilai tersebut. Misalnya adil dalam perspektif Islam berarti mendudukkan suatu perkara berdasarkan hukum Allah, sebab Allah berfirman dalam QS. an-Nisa yang artinya “Kemudian, jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah).” Dalam hal kebebasan, perbuatan manusia terikat pada hukum Allah. Maksudnya setiap sikap dan perilaku harus disandarkan pada syariat Islam. Apabila suatu bentuk perbuatan hukumnya haram, maka perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan apalagi disebarkan. Jadi prinsip kebebasan malah bertentangan dengan perintah dan larangan Allah.

Dengan demikian demokrasi bukanlah wujud kesalehan politik tetapi wujud kemunkaran politik karena secara prinsip bertentangan dengan Islam. Setiap konsep dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum Allah merupakan kemunkaran, apalagi pertentangannya bersifat prinsip.

Kesalehan Politik Seharusnya

Aktivitas politik merupakan aktivitas yang ditujukan untuk mengatur urusan umat baik dilakukan oleh penguasa negara maupun oleh warga negara. Terwujudnya kesalehan politik apabila penguasa menjadikan kekuasaan yang dimilikinya tunduk kepada hukum Allah. Kekuasaannya semata-mata sarana untuk beribadah kepada Allah dengan menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara dan syariat Islam sebagai hukum dan sistem negara. Dengan syariat Islamlah ia mengatur urusan umat bukan dengan sistem yang lain seperti sistem demokrasi.

Bagi warga negara aktivitas politik diwujudkan dengan melakukan koreksi terhadap penguasa apabila penguasa melakukan penyimpangan dari syariat Islam. Setiap penyimpangan dari syariat merupakan kemunkaran, sedangkan setiap orang beriman diwajibkan Allah untuk mengubah kemunkaran. Rasul bersabda: “Siapa saja melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya, dan apabila tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, dan apabila (masih) tidak mampu ubahlah dengan membenci (perbuatan) itu dalam hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).

Keberanian menentang kezaliman dan penyimpangan penguasa dari hukum Allah dengan berbagai resiko menghadang merupakan manifestasi dari kesalehan politik meskipun harus meregang nyawa. Rasul bersabda: “Penghulu syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim, menyerukan (kepadanya) untuk berbuat baik dan melarangnya (berbuat kemunkaran), kemudian ia dibunuh” (HR. Hakim).

Kesalehan politik muncul dari orang-orang yang memiliki kesadaran politik. Menurut Zallum dalam bukunya Pemikiran Politik Islam, kesadaran politik merupakan aktivitas mengamati dan memahami fakta dan peristiwa politik dalam sudut pandang Islam. Orang yang memiliki kesadaran politik setiap hari pemikirannya tercurah pada umat. Rasul bersabda: “Barang siapa yang bangun dan tidak memperhatikan urusan muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (golongan muslimin)” (HR. Hakim dan al-Khatib).

Kesalehan politik hanya lahir dari orang-orang yang berpegang teguh pada hukum Allah. Ia memahami hukum Allah adalah standar pemikiran dan perbuatan yang diaktualisasikan dalam aktivitas politik tanpa kompromi meskipun godaan kekuasaan, harta, dan wanita menghadang. Pola pikir dan sikapnya jauh dari pragmatisme, karena ia tidak mau akidah dan syariat Islam tergadai hanya untuk kepentingan keduniaan. Ia tidak mau aktivitas politiknya tunduk dan disesuaikan pada realitas politik yang bertentangan dengan syariat, apalagi menjadi bagian dari sistem politik demokrasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

Realitas politik demokrasi yang cenderung kotor dan menghalalkan segala cara tidak menyebabkan dirinya lari dari permasalahan politik. Sebab urusan dan kepentingan umat hanya bisa direalisasikan dengan menundukkan realitas politik pada syariat.

Ia berusaha mengubah sistem yang rusak dengan perjuangan politik. Untuk itu sudah semestinyalah perjuangan politik ini dilakukan dalam sebuah partai politik ideologis, yakni partai politik yang berasaskan akidah Islam. Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran: 104 yang artinya “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”

Perjuangan politik dari sebuah partai politik ideolgis dilakukan dengan mengikuti tariqah (metode) perjuangan politik rasul. Yakni dengan membongkar dan membeberkan kerusakan sistem yang ada, menunjukkan pertentangannya dengan akidah dan syariat Islam kepada umat.

Bersama partai politik ideologis, ia berusaha mengubah pandangan dan pemahaman umat tentang politik menjadi pandangan dan pemahaman yang Islami agar umat sadar dan bergerak untuk mengubah sistem yang rusak dan menggantinya dengan sistem yang Islami. Melalui partai politik ideologis ia melakukan perekrutan dan pembinaan agar umat memiliki kesadaran politik. Dengan cara inilah ia tidak hanya mewujudkan kesalehan politik bagi dirinya tetapi juga bagi umat.

Syahwat Kapital dan Tauladan Kepemimpinan Rasul

KEPEMIMPINAN
Siapa pun tidak ada yang tidak membutuhkan harta dalam kehidupan ini. Harta atau kekayaan adalah segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi manusia. Dengan manfaat yang muncul dari harta tersebut manusia dapat mempertahankan hidupnya. Sebaliknya karena harta pula manusia dapat membinasakan manusia yang lain.

Dalam Islam manusia disyariatkan untuk mencari harta yakni dengan cara bekerja. Bekerja boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam batas pekerjaan yang tidak melanggar ketentuan Allah SWT. Bagi laki-laki yang sudah memiliki tanggungan seperti istri dan anak, bekerja hukumnya menjadi wajib. Dengan bekerja diharapkan seorang kepala keluarga dapat memberikan nafkah yang layak kepada keluarganya, sehingga kebutuhan hidup yang paling mendasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan dapat terpenuhi dengan baik.
Namun kondisi perekonomian Indonesia yang sedang sulit saat ini menyebabkan pengangguran semakin besar sementara angkatan kerja baru semakin bertambah. Sulitnya mencari pekerjaan merupakan gambaran nyata kehidupan sehari-hari kita. Sedangkan kebutuhan pokok manusia tidak dapat ditunda-tunda pemenuhannya. Akibatnya terjadi gap antara kebutuhan dengan penghasilan.

Apabila gap ini tidak dapat segera ditutup maka yang muncul adalah kemiskinan. Kemiskinan kata Rasulullah SAW dapat mengakibatkan seseorang dekat dengan kekufuran. Bahkan Rasulullah SAW selalu berdoa sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud, an-Naza’i, Ibnu Majah, dan al-Hakim: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekurangan, dan kehinaan. Aku pun berlindung kepada-Mu dari perbuatan zalim dan dizalimi.”

Orang yang berada dalam kemiskinan diuji Allah dengan kesempitan harta, sehingga kesabaran adalah kebutuhan utama yang harus segera dimiliki. Dengan bersabar manusia dapat mencegah dirinya berbuat kufur menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta, misalnya merampok, mencuri, menjambret, menipu, melacur, dan berjudi. Namun kesabaran membutuhkan keimanan. Sementara keimanan tidak akan mampu menciptakan kesabaran jika iman tidak dikuatkan dengan ilmu, ibadah, dan amal saleh.

Adalah Rasulullah SAW yang hidupnya berada dalam kemiskinan pada masa beliau menjadi kepala negara Islam di Madinah. Ibunda kita Aisyah Ra pernah bercerita keluarga Rasulullah SAW selama dua bulan purnama tungku api dapur di rumah istri-istri beliau tidak menyala. Rasulullah SAW dan keluarga beliau selama itu setiap hari hanya makan dan minum dengan kurma dan air yang tidak jernih. Tatkala pagi tidak ada makanan di rumah beliau pun berpuasa dan tidak pernah mengeluhkan keadaan tersebut.

Kehidupan Rasulullah yang bersahaja bukan karena beliau malas bekerja, bahkan beliau seorang pekerja keras dan cerdas. Rasulullah juga menjahit sendiri pakaian beliau yang sobek. Setiap pulang ke rumah belum ada makanan tersedia, beliau pun langsung menyingsingkan lengan bajunya sambil tersenyum membantu istrinya di dapur. Sewaktu muda beliau seorang pedagang yang kaya dan terpercaya karena keamanahan dan kejujuran beliau. Semenjak beliau diangkat Allah SWT menjadi Rasul, seluruh harta dan kekayaan beliau diinfakkan untuk kepentingan dakwah dan negara Islam.

Berbeda dengan sifat Rasulullah yang penyabar dikala sempit harta dan senantiasa langsung berinfak ketika mendapatkan harta, saat ini kita melihat fenomena banyak orang gila harta. Suasana kehidupan materialistis saat ini membimbing orang-orang mencampakkan ajaran agamanya dan menjadikan harta sebagai panglima hidupnya. Bagaimanapun caranya yang penting bagi mereka adalah uang dan harta. Akibat perilaku ekonomi Kapitalis ini, banyak orang dirugikan bahkan harta rakyat dan negara pun mereka ambil hanya untuk memuaskan keserakahan mereka. Atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi orang-orang yang duduk di pemerintahan dan dewan perwakilan mengeluarkan kebijakan ekonomi liberal sehingga kehidupan rakyat semakin sempit dan miskin.

Bila ia pengusaha, maka menipu, menyuap aparat, dan mengambil hak orang lain tak segan dilakukan. Bahkan harta rakyat dalam bentuk kepemilikan umum pun mereka ambil untuk kepentingan mereka sendiri. Tidak aneh jika kekayaan sumber daya alam di Indonesia seperti hutan dan barang tambang dikuasai segelintir orang saja. Sementara rakyat hanya mendapatkan kubangan dan jalan yang rusak. Padahal barang tambang seperti batubara ini menurut Rasulullah adalah milik umum. Artinya barang tambang tersebut hak milik rakyat, bukan milik negara apalagi swasta. Fungsi negara terhadap barang tambang hanya sebagai pengelola yang mewakili rakyat dan pemerintah bukan pemilik. Rasulullah juga melarang pertambangan besar dijual dan diserahkan ke swasta dan asing.

Bila ia politisi dan birokrat, tak segan-segan mereka melakukan kebijakan untuk memperkaya diri sendiri dan mengokohkan kekuasaan dan pengaruh mereka di tengah masyarakat. Masih ingat dalam kepala saya soal PP No 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. PP kontroversial ini yang kemudian direvisi Presiden SBY hanya akan menghabiskan uang rakyat untuk memuaskan “syahwat kapital” partai politik dan politisi.

Tahun 2007 lalu Dana Politik Alokatif sebesar Rp 16,9 miliar dianggarkan dalam APBD Kal-Sel. Jumlah yang tidak sedikit tentunya. Pimpinan DPRD mendapatkan dana Rp 400 juta per orang dan setiap anggota memperoleh dana Rp 300 juta. Argumentasi umum yang mereka katakan bahwa dana tersebut untuk keperluan konstituen mereka. Sejak kapan dana rakyat dapat diklaim dan dibagi-bagi atas dasar sektarianisme, yakni disalurkan untuk kepentingan yang mereka katakan konstituennya? Siapa yang memberi mandat kepada mereka untuk membagi-bagi uang rakyat untuk ini dan itu? Bukankah sewaktu pemilu rakyat yang ikut memilih hanya mencoblos gambar calon anggota DPRD dan lambang partai saja.

Orang-orang miskin, para pengangguran, anak-anak sekolah dan mahasiswa, guru dan dosen, aparat negara, dan kebutuhan fasilitas umum bagi seluruh rakyat, merekalah yang berhak atas dana APBD. Tidak malukah mereka dengan sikap Rasulullah ketika menolak bantuan para sahabat agar beliau tidak kelaparan, padahal bantuan sahabat tersebut bukan harta haram. Saat itu sahabat mengetahui setelah solat dengan Rasulullah, terlihat di balik jubah beliau sehelai kain yang berisi batu kecil melilit perut beliau yang kurus untuk menahan rasa lapar. Para sahabat menangis menyasikkan penderitaan Rasulullah, seraya membujuk beliau. Namun Rasulullah menolak dan mengatakan: Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?” “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”

Subhanallah, luar biasa sikap Rasulullah. Sudah seharusnya para pemimpin kita mencontoh Rasulullah dalam memimpin pemerintahan. Jadilah pemimpin yang takut kepada Allah, takut bila hanya menjadi beban rakyat, dan malu dengan orang-orang miskin, yatim piatu, anak-anak sekolah dan mahasiswa, bila hak mereka dialihkan untuk kepentingan politik dan kelompoknya.

Harta dapat menjadi amal soleh tatkala ia hanya sarana dan redo Allah sebagai tujuan. Tetapi harta menjadi ujian berat bila pola pikir sekuler sudah menghinggapi pemahaman para penentu kebijakan. Dengan pola pikir sekuler hukum-hukum Allah SWT pun akan dicampakkan dan diganti dengan “syahwat kapital”. Bila dengan Allah SWT saja tidak takut bagaimana dengan rakyatnya?