Senin, 02 Agustus 2010

Solusi Tuntas Gas Elpiji

Kalau kita saksikan fenomena akhir-akhir ini, terkait ledakan gas elpiji 3 kg yang terjadi hampir di setiap hari, baek di televisi, Koran maupun media-media yang lainnya, sungguh sangat meprihatinkan. Di saat seperti ini justru pemerintah abai terhadap tanggung jawabnya, rakyat hanya di berikan janji-janji manis dan di suruh bersabar menghadapi musibah ini lalu di mana hari nurani rakyat. Rakyat yang sudah susah di tambah susah dan rasa takut dengan banyaknya kejadian meledaknya tabung elpiji 3kg tersebut. Respon pemerintah juga terbilang lamban dalam menangani kasus tersebut. Langkah pemerintah baru sebatas membentuk tim Nasional setelah rapat koordinasi di kantor Wapres 29 Juni lalu. Langkah nyata belum terlihat selain hanya menyiapkan selang regulator berstandart SNI sebanyak 10 juta paket. sifat lamban semacam ini jelas tidak di benarkan di dalam islam. Sebab di dalam islam pemerintah berkewajib untuk senantiasa mengurusi rakyatnya. Rasul saw. bersabda:

Seorang pemimpin (penguasa) adalah pengatur dan pemelihara urusan masyarakat dan dia bertanggung jawab atas urusan mereka (HR al-bukhari dan Muslim).

Rasul juga memperingatkan:
Siapa saja yang diserahi oleh Allah menangani urusan kaum muslim, lalu ia mengabaikan kebutuhan, kesusahan dan kemiskinan mereka maka Allah akan mengabaikan kebutuhan, kesusahan dan kemiskinan mereka (pada hari kiamat kelak) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Untuk mengakhiri ledakan gas elpiji, ada beberapa langkah yang harus di tempuh oleh pemerintah. Pertama: Semua tabung dan selang regulator harus di pastikan terjamin kualitasnya dengan baik. Semua setruktur dan aparatur pemerintah termasuk pertamina, melakukan pengecekan hingga ke tingkat RT dan RW serta komunitas. Lalu di pisahkan antara yang memenuhi standar dengan yang tidak memenuhi standar atau rusak lalu di ganti.
Kedua: harus ada pengawasan yang ketat dan berjenjang dari pemerintah. Pengawasan di lakukan dari pabrik hingga pengecer. Tabung gas harus di pastikan berkualitas baik dan tidak bocor, terutama pada bagian katup, dan ini bisa di lakukan di stasiun pengisian tabung. Pemerintah juga harus memperhatikan dan memastikan pendistribusian sampai pengecer menjaga kualitas. Harus dijamin mereka menjaga tabung dengan baik, dan untuk itu perlu di berikan pelatihan hingga tinggkat pengecer itu artinya pengawasan harus di lakukan secara berjenjang dari pemerintah sampai pada konsumen, supaya pemerintah tahu siapa yang jadi pihak ketiganya itu.
ketiga: Ditingkat konsumen, harus dilakukan penyuluhan massal kepada masyarakat untuk pemakaian gas yang aman. Hal itu dilakukan dari rumah ke rumah dengan memanfaatkan struktur RT atau RW dan komunitas.
keempat:Pemerintah harus mengusut dan menghukum dengan hukuman seberat-bertnya kepada pelaku kecurangan, menyuntik gas, memalsukan selang dan lainnya yang sering disebut pihak ketiga penyebab ledakan.
kelima: Segera menyantuni seluruh korban atau mereka yang terkena musibah akibat ledakan tabung gas itu.
Minimal, lima hal ini yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengakhiri ledakan tabung gas ini.

Solusi Mendasar
Banyaknya kasus ledakan elpiji adalah dampak dari adanya kebijakan konversi(pengalihan). Penggunaan minyak tanah ke elpiji. Masyarakat di paksa untuk menerima dan legowo kebijakan pemerintah ini dan tidak di berikan kesempatan memilih energi lainnya. Kebijakan pemerintah ini muncul karena adanya politik energi dan pengelolaan kekayaan umum yang salah dengan mengikuti sistem kapitasme.
Sistem kapitalis gaya baru ini menghendaki adanya penghapusan segala bentuk subsidi. Dan sangat masuk akal nantinya kedepan, ketika pemerintah memutuskan penghapusan BBM termasuk gas tiga kiloan maka rakyat dipaksa memebeli sesuai harga keekonomian. Harga keekonomian gas elpiji sekitar Rp 7.680,- belum ditambah margin keuntungan badan usaha. Artinya, harga keekonomian gas 3kg ditingkat pengecer nanti bisa mencapai 25 ribu pertabung.

Masalah ini berawal dari adanya kesalahan politik energi. Pertama: Masyarakat dipaksa mengkonsumsi jenis energi yang mahal, yaitu BBM(termasuk elpiji) daripada LNG yang jauh lebih murah. LNG justru di jual murah ke Cina, Singapura atau Korea dengan harga sangat murah.
kedua: Tidak ada pemihakan pada kebutuhan pasar dalam negeri. UU 22/2001 tentang migas.

Sabtu, 05 Juni 2010

Peran Lebih Indonesia untuk Palestina

Pasca peristiwa pembajakan armada Freedom Flotilla, memperlihatkan sesuatu yang lain dari kiprah Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Diterima atau tidak, fakta menunjukkan bahwa partisipasi Indonesia untuk perjuangan umat Islam Palestina bisa dibilang masih sangat sedikit.

Bayangkan, dari dua ratus juta lebih penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, dan dari sekian ratus ormas Islam, juga dari sekian banyak partai Islam, hanya 12 orang saja dari relawan Indonesia yang ikut di Freedom Flotilla. Itu pun sudah termasuk 5 wartawan yang ikut di rombongan tersebut.

Dari 12 orang itu pula, hanya terdapat tiga ormas Islam yang ikut. Mereka adalah KISPA, Mer-C, dan Hidayatullah. Kemana puluhan ormas Islam lain yang sepatutnya ikut berpartisipasi dalam langkah besar mendobrak kesombongan Israel dan Amerika terhadap Palestina.

Manuver besar dan sekaligus sangat berbahaya yang dilakukan gabungan ormas dan aktivis kemanusiaan sedunia untuk rakyat Palestina yang dipelopori IHH, sebuah LSM di Turki ini sebenarnya bukan yang pertama. Sudah beberapa kali mereka melakukan langkah strategis ini, di antaranya pada saat penyerangan Israel ke Gaza tahun lalu. Lagi-lagi, tidak banyak ormas Islam Indonesia yang ikut masuk ke Gaza bersama LSM dunia lain. Di antara mereka ada Baznas, Kispa, Mer-C, dan BSMI.

Begitu pun dengan peran pemerintah Indonesia. Selain kurangnya kepedulian terhadap perjuangan rakyat Palestina jika dilihat dari sumbangan berbagai sumberdaya yang ada, pemerintah juga dinilai lambat melakukan advokasi terhadap relawan yang saat ini masih ada yang ditahan di Israel. Padahal, nama Indonesia tiba-tiba menjadi harum karena kiprah 12 orang itu di Freedom Flotilla.

Dalam fastabiqul khairat, atau berlomba dalam kebaikan, tentu kita tidak akan membandingkan dengan negara-negara Arab yang dinilai lebih minim dari Indonesia, seperti yang diucapkan tokoh Palestina, Syaikh Muhammad Mahmud Shiyam. Tapi jika dibandingkan dengan Turki yang masih menganut ideologi sekuler dan punya hubungan diplomatik dengan Israel, Indonesia belum ada apa-apanya.

Partisipasi lebih dan nyata seperti apakah yang mesti dan bisa dilakukan pemerintah dan anak bangsa ini dalam ikut mengurangi penderitaan umat Islam Palestina dalam tekanan penjajahan Israel?

sumber: eramuslim.com

Rabu, 05 Mei 2010

Manajemen Dan Motivasi Diri Seorang Muslim

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka

beribadah kepada-Ku." (adz-Dzaariyaat [51]: 56)

Siapa pun kita, apakah berprofesi sebagai mahasiswa, pelajar, karyawan,

pengusaha, kaum profesional, ataupun aktivis organisasi dan dakwah, tentu

membutuhkan "bahan bakar" berupa semangat dan motivasi tinggi dalam setiap

aktivitas kita. Namun tahukah Anda, bila motivasi yang kuat-bahkan sebisa

mungkin memiliki daya tahan yang lama-diawali dengan visi hidup yang benar, atau

dapat diistilahkan: "setiap orang harus punya idealisme"?

Manusia memang Allah swt. ciptakan sebagai makhluk dengan keunikan

tersendiri. Karena, tak ada dua manusia pun yang sama (identik) satu sama lain,

walapun mereka adalah saudara kembar. Meskipun ada perbedaan di tiap diri

manusia, namun langkah-langkah penentuan visi hidup sukses bisa diarahkan kepada

satu arah yang sama. Tentu saja dengan menitikberatkan pada konsep visi dengan

fikrah (pemikiran) yang Islami.

Berikut ini beberapa tips yang insya Allah bermanfaat sebagai bahan renungan

dan perbandingan dalam merancang visi hidup kita.

1. Perkuat niat kita bahwa kita terlahir dan hidup ke dunia untuk menjadi

hamba Allah swt. yang taat agar meraih ridha-Nya (lihat QS 51:56).

Dengan predikat hamba Allah inilah kita senantiasa wajib tunduk, taat, patuh,

setia, dan bertanggung jawab pelaksanaan dari perintah-Nya. Sebagaimana ikrar

kita, "Inna shalaatii, wanusukii, wa mahyaayaa wa mamaatii lillaahi rabbil-

'aalamiin" menjadi pengingat dan penguat diri kita atas keberadaan kita di
dunia.

Niat hidup di dunia memang akan men-shibghah (mewarnai) tujuan hidup, dan

seterusnya akan menjadi nilai misi dan visi hidup seseorang. Bagi setiap muslim,

"warna" ridha Allah" harus dimaksimalkan, sementara "warna" syahwat dan hawa

nafsu tentu saja harus dibuang jauh-jauh. Kehancuran kaum 'Ad, Tsamud, kaumkaum

durhaka lainnya cukup menjadi bukti bagi kita bahwa niat dan perilaku

membangkang dari ketaatan pada Allah swt. bukan saja tak dapat meraih ridha-

Nya, namun juga mengakibatkan murka dan turunnya azab-Nya serta kehinaan di

dunia maupun akhirat.

2. Tentukan dan pastikan misi dan visi hidup kita, karena hal-hal tersebut

sebagai dasar kesuksesan seseorang.

Sering orang sulit membedakan mana yang termasuk misi dan mana yang

tergolong visi hidup. "Misi hidup" secara individu diartikan sebagai:
kristalisasi

nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh seseorang. Ini mencakup seluruh
nilai

yang membentuk sifat, sikap, dan perilaku seseorang, baik nilai yang berasal
dari

orang tua, keluarga, budaya, bangsa, maupun agama. Bila seseorang ditanya apa

misi hidupnya, lalu dia berkata, "Oh, saya menjalani hidup apa adanya," atau

"Bagi saya, hidup saya ini seperti air mengalir saja," jawaban seperti ini

menunjukkan ketidaktahuannya tentang misi hidup. Misi hidup memang bisa

positif dan bisa pula negatif. Tentu saja kita harus membuat misi hidup positif

yang mengandung prinsip-prinsip nilai berupa: kebaikan, kejujuran, keadilan,

kedamaian, kesetiaan, keselamatan, kesejahteraan, ketenteraman, dan

kebahagiaan.

Sementara itu, "visi hidup" lebih diibaratkan sebagai mimpi (bukan berkhayal),

karena kita membayangkan sesuatu yang masih bersifat harapan. Visi juga disebut

sebagai kemampuan melihat apa yang saat ini belum terwujud. Kita harus

membuat visi hidup sesuai dengan kemampuan dan kelebihan diri kita.

3. Buatlah misi dan hidup Anda dalam bentuk yang sederhana di satu tempat

khusus, seperti buku agenda (dairy) agar dapat meretensi (memperkuat)

memori otak dan "membakar" motivasi diri.

Buatlah misi hidup yang positif, yaitu yang memiliki nilai-nilai: spiritual,
luhur,

menarik, fleksibel, jelas, dan singkat. Contoh: Misi Hidup Muhammad Fathoni,

dengan rincian sebagai berikut:

Pertanyaan Jawaban

Siapakah saya? Makhluk ciptaan Allah swt..

Mengapa saya ada di dunia? Untuk berbuat baik.

Apa keunggulan/kelebihan diri saya? Berpendidikan, ulet, dan kreatif.

Untuk siapa saya bekerja? Untuk masyarakat di sekitar saya.

Apa hasil/produk dari pekerjaan

saya?

Pemberdayaan orang lain.

Di mana saya mengerjakannya? Di dunia.

Misi hidup Muhammad Fathoni dalam satu kalimat:

"Saya adalah makhluk ciptaan Allah swt. yang berpendidikan,

ulet, dan kreatif yang bertekad untuk selalu berbuat baik dengan

cara memberdayakan masyarakat di sekitar saya."

Meskipun terkesan kaku ataupun lucu, namun ini sebagai satu cara sederhana

membuat misi hidup diri kita. Anda dapat menyempurnakannya sesuai keinginan

Anda. Di kemudian hari Anda akan rasakan sesungguhnya Anda adalah manusia

yang punya potensi "luar biasa".

4. Tentukan juga beberapa peran Anda (pekerjaan dan beberapa aktivitas) di

masyarakat. Ini merupakan langkah "menerjemahkan" misi hidup dalam

bentuk teknis.

Berikut ini contoh daftar peran Muhammad Fathoni setelah dikelompokkan dalam

peran-peran sejenis:

· Guru agama Islam

· Pembicara (Penceramah)

· Keluarga (sebagai Ayah; sebagai Suami; sebagai Anak; & sebagai Saudara)

· Warga masyarakat (di lingkungan tempat tinggal)

· Penulis buletin Jum'at

· Organisator (Pengurus koperasi; Pembina pengajian remaja)

· Pengembangan diri (Pemain bulutangkis; Membaca buku; Shalat dan ibadah

lainnya)

Anda boleh membuat daftar peran tersebut sesuai dengan kondisi yang tengah

Anda tekuni.

5. Lanjutkan dengan membuat visi peran dan rencana kerja Anda.

Anda dapat melatih memvisualisasikan visi peran Anda dengan membayangkan

bagaimana gambaran masa depan dari setiap peran Anda karyawan/wirausaha,

suami/istri, organisator, dan sebagainya setahun atau beberapa tahun mendatang

yang penuh kesuksesan.

Akhirnya, visi peran tersebut dituangkan dalam bentuk kalimat dan schedule

rencana kerja yang terukur, fleksibel, terjangkau, menarik, jelas, dan singkat.

Semoga kita bisa konsisten dengan visi awal kita dan jangan enggan untuk

mengevaluasi dan meng-up date rencana kerja Anda. Semakin seseorang

berkomitmen dengan misi-visi dan pelaksanaan kegiatan hidupnya, semakin

mempermudah tercapainya kesuksesan hidupnya. Tips di atas hanya sebagai salah

satu washilah (sarana) alternatif menuju kesuksesan yang kita idamkan. Wallahu

a'lam.

Selasa, 04 Mei 2010

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Pada dasarnya, kepemimpinan itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, Islam telah menggariskan beberapa kaedah yang berhubungan dengan kepemimpinan. Kaedah-kaedah tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

Kepemimpinan Bersifat Tunggal

Dalam khazanan politik Islam, kepemimpinan negara itu bersifat tunggal. Tidak ada pemisahan, ataupun pembagian kekuasaan di dalam Islam. Kekuasaan berada di tangan seorang Khalifah secara mutlak. Seluruh kaum Muslim harus menyerahkan loyalitasnya kepada seorang pemimpin yang absah. Mereka tidak diperbolehkan memberikan loyalitas kepada orang lain, selama Khalifah yang absah masih berkuasa dan memerintah kaum Muslim dengan hukum Allah SWT.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:


وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

“Siapa saja yang telah membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia mentaatinya jika ia mampu. Apabila ada orang lain hendak merebutnya (kekuasaan itu) maka penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].


مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” [HR. Muslim].


إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

“Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim].

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan, “Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendegarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. Yang bersabda:


كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada Nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah.” Para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.” [HR. Imam Muslim]

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwasanya kepemimpinan dalam Islam bersifat tunggal, bukan bersifat kolegial. Dari riwayat-riwayat di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada pembagian kekuasaan di dalam Islam.


Kepemimpinan Islam Itu Bersifat Universal

Kepemimpinan Islam itu bersifat univeral, bukan bersifat lokal maupun regional. Artinya, kepemimpinan di dalam Islam diperuntukkan untuk Muslim maupun non Muslim. Sedangkan dari sisi konsep kewilayahan, Islam tidak mengenal batas wilayah negara yang bersifat tetap sebagaimana konsep kewilayahan negara bangsa. Batas wilayah Daulah Khilafah Islamiyyah terus melebar hingga mencakup seluruh dunia, seiring dengan aktivitas jihad dan futuhat. Al-Qur’an telah menjelaskan hal ini dengan sangat jelas. Allah SWT berfirman:


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Qs. Saba’[34]: 28).


قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Katakanlah: ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk’.” (Qs. al-A’râf [7]: 158).

Rasulullah Saw juga bersabda:


بُعِثْتُ إِلَى الْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ

“Saya diutus untuk bangsa yang berkulit merah hingga yang berkulit hitam.”[HR. Imam Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad]

Nash-nash di atas merupakan bukti yang nyata bahwa kepemimpinan di dalam Islam bersifat universal, bukan hanya untuk umat Islam semata, akan tetapi juga ditujukan bagi seluruh umat manusia.

Kepemimpinan Itu Adalah Amanah

Pada dasarnya, kepemimpinan itu adalah amanah yang membutuhkan karakter dan sifat-sifat tertentu. Dengan karakter dan sifat tersebut seseorang akan dinilai layak untuk memegang amanah kepemimpinan. Atas dasar itu, tidak semua orang mampu memikul amanah kepemimpinan, kecuali bagi mereka yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat kepemimpinan yang paling menonjol ada tiga.

Pertama, al-quwwah (kuat). Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang lemah. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw pernah menolak permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada orang yang mampu memikulnya.”Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat dan syari’at Islam. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menelorkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan merugikan dan menyesatkan rakyatnya.

Selain harus memiliki kekuataan ‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah (kejiwaan). Kejiwaan yang kuat akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya, cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan rakyat yang dipimpinnya.

Kedua, al-taqwa (ketaqwaan). Ketaqwaan adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa. Sebegitu penting sifat ini, tatkala mengangkat pemimpin perang maupun ekspedisi perang, Rasulullah Saw selalu menekankan aspek ini kepada para amirnya. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa tatkala Rasulullah Saw melantik seorang amir pasukan atau ekspedisi perang belia berpesan kepada mereka, terutama pesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah SWT dan bersikap baik kepada kaum Muslim yang bersamanya.[HR. Muslim & Ahmad].

Pemimpin yang bertaqwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah SWT. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syari’at Islam. Ia sadar bahwa, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan da perkataannya. Berbeda dengan pemimpin yang tidak bertaqwa. Ia condong untuk menggunakan kekuasaannya untuk menindas, mendzalimi dan memperkaya dirinya. Pemimpin seperti ini merupakan sumber fitnah dan penderitaan.

Ketiga, al-rifq (lemah lembut) tatkala bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini juga sangat ditekankan oleh Rasulullah Saw. Dengan sifat ini, pemimpin akan semakin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa ‘Aisyah ra berkata, ”Saya mendengar Rasulullah Saw berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia memberatkannya, maka beratkanlah dirinya, dan barangsiapa yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.” [HR. Muslim].

Selain itu, seorang pemimpin mesti berlaku lemah lembut, dan memperhatikan dengan seksama kesedihan, kemiskinan, dan keluh kesah masyarakat. Ia juga memerankan dirinya sebagai pelindung dan penjaga umat yang terpercaya. Ia tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk menghisap dan mendzalimi rakyatnya. Ia juga tidak pernah memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri, atau menggelimangkan dirinya dalam lautan harta, wanita dan ketamakan. Ia juga tidak pernah berfikir untuk menyerahkan umat dan harta kekayaan mereka ke tangan-tangan musuh. Dirinya selalu mencamkan sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa diberi kekuasaan oleh Allah SWT untuk mengurusi urusan umat Islam, kemudian ia tidak memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinan mereka, maka Allah SWT tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinannya di hari kiamat.” [HR. Abu Dâwud & at-Tirmidzi].

Untuk itu, seorang pemimpin mesti memperhatikan urusan umat dan bergaul bersama mereka dengan cara yang baik. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut memiliki kecakapan dalam hal pemerintahan dan administasi, akan tetapi ia juga harus memiliki jiwa kepemimpinan yang menjadikan dirinya ditaati dan dicintai oleh rakyatnya.


Kepemimpinan Adalah Tugas Pengaturan, Bukan Kekuasaan Otoriter

Pada dasarnya, kepemimpinan di dalam Islam merupakan jabatan yang berfungsi untuk pengaturan urusan rakyat. Seorang pemimpin adalah pengatur bagi urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah SWT. Selama pengaturan urusan rakyat tersebut berjalan sesuai dengan aturan Allah, maka ia layak memegang jabatan pemimpin. Sebaliknya, jika ia telah berkhianat dan mengatur urusan rakyat dengan aturan kufur, maka pemimpin semacam ini tidak wajib untuk ditaati.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan, “Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendegarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. Yang bersabda:


كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah.” Para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.”[HR. Imam Muslim]

Tatkala menjelaskan hadits yang berbunyi, “Imam adalah penjaga, dan bertanggungjawab terhadap rakyatnya”, Imam Badrudin al-Aini, menyatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa urusan dan kepentingan rakyat menjadi tanggungjawab seorang Imam (Khalifah). Tugas seorang Imam dalam hal ini adalah memikul urusan rakyat dengan memenuhi semua hak mereka.”[1]

Walhasil, seorang pemimpin harus selalu menyadari bahwa kekuasaan yang digenggamnya tidak boleh diperuntukkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, misalnya untuk memperkaya diri, mendzalimi, maupun untuk mengkhianati rakyatnya. Namun, kekuasaan itu ia gunakan untuk mengatur urusan rakyat sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT.

Kepemimpinan Itu Bersifat Manusiawi

Kepemimpinan di dalam Islam bersifat manusiawi. Artinya, seorang pemimpin bukanlah orang yang bebas dari dosa dan kesalahan. Ia bisa salah dan lupa, alias tidak ma’shum (terbebas dari dosa). Untuk itu, syarat kepemimpinan di dalam Islam bukanlah kema’shuman akan tetapi keadilan. Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak harus ma’shum (bahkan tidak boleh menyakini ada pemimpin yang ma’shum), akan tetapi cukup memiliki sifat adil.

Adil adalah orang yang terkenal konsisten dalam menjalankan agamanya (bertaqwa dan menjaga kehormatan). Orang yang fasiq —lawan dari sifat adil—tidak boleh menjadi seorang pemimpin atau penguasa. Allah SWT berfirman:


وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ

“Hendaknya menjadi saksi dua orang yang adil dari kamu sekalian.” (TQS. ath-Thalâq [65]: 2).

Seorang penguasa (Khalifah) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan para saksi. Jika saksi saja diharuskan memiliki sifat adil, lebih-lebih lagi seorang pemimpin (Khalifah). Walhasil, seorang pemimpin harus memiliki sifat adil, dan tidak harus ma’shum.

Inilah beberapa kaedah penting yang perlu diperhatikan oleh setiap pemimpin dan penguasa. Siapa saja yang memperhatikan kaedah-kaedah ini, ia akan menjadi seorang pemimpin yang berhasil dan dicintai oleh orang-orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, siapa saja yang mengabaikan kaedah-kaedah ini, dirinya tidak akan mungkin berhasil menjadi pemimpin berwibawa yang dicintai dan dipatuhi rakyatnya.


Kepemimpinan Ditegakkan Untuk Menerapkan Hukum Allah

Islam telah mewajibkan penguasa untuk menjalankan roda pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Sebab, kekuasaan itu disyariatkan untuk menegakkan dan menerapkan hukum-hukum Allah swt. Kekuasaan dan pemerintahan tidak disyariatkan semata-mata untuk menciptakan kemashlahatan di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi, ditujukan untuk melaksanakan hukum-hukum Allah swt. Untuk itu, setiap persoalan harus dipecahkan berlandasarkan hukum Allah.

Islam juga memberi hak kepada penguasa untuk melakukan ijtihad, menggali hukum-hukum dari dua sumber hukum tersebut. Islam melarang penguasa mempelajari (untuk diterapkan) aturan-aturan selain Islam, atau mengambil sesuatu selain dari Islam. Hukum yang diberlakukan untuk mengatur urusan kenegaraan dan rakyat, hanyalah hukum yang bersumber dari Al-Kitab dan Al-Sunnah. Bukti yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, diantaranya adalah firman Allah swt berikut ini;

“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” ]TQS Al Maidah (5): 44].

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [TQS Al Maidah (5):47].

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” [TQS Al Maidah (5): 45]

Ayat-ayat ini telah memberikan batasan yang sangat jelas kepada para penguasa agar ia mengatur urusan-urusan rakyatnya hanya berdasarkan hukum-hukum Allah swt. Oleh karena itu, seorang penguasa dalam menjalankan urusan pemerintahannya harus terikat dengan batasan-batasan yang digariskan oleh .al-Quran dan Sunnah.

Hanya saja, Islam membolehkan penguasa melakukan ijtihad untuk memahami Al-Kitab dan Al- Sunnah. Yang dimaksud ijtihad di sini adalah; mencurahkan segenap tenaga dan upaya dalam memahami dan mengambil istinbath berbagai hukum dari dua sumber itu. Diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengutus Mu’adz RA ke Yaman, lalu beliau bertanya kepadanya, “Dengan apa kamu akan memutuskan perkara?” Jawab Mu’adz: “Dengan Kitabullah”. Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukan?” Mu’adz menjawab: “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasulullah Saw. bertanya: “Jika kamu tidak menemukan?” Mua’dz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapatku,” jawab Mu’adz RA. Mendengar jawaban yang sangat cerdas ini, Rasulullah SAW langsung memuji Allah, “Segala puji bagi Allah Yang memberi taufiq kepada utusan Rasul-Nya terhadap sesuatu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.”

Allah juga memberi pahala bagi penguasa yang melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya salah. Hal semacam ini tentunya sangat mendorong penguasa untuk terus melakukan ijtihad. Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Amru bin ‘Ash bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika penguasa menjalankan pemerintahan, lalu berijtihad, kemudian benar, maka baginya dua pahala. Jika menjalankan pemerintahan, lalu ijtihad, kemudian salah, maka baginya satu pahala.” Syariat dengan tegas telah membatasi hukum-hukum yang dijalankan penguasa haruslah hukum Islam, bukan hukum lainnya. Meskipun penguasa diberi wewenang melakukan ijtihad walaupun salah, hanya saja ia tetap harus berjalan dalam bingkai hukum Islam dan dilarang berhukum dengan hukum selain Islam. Bahkan, ia dilarang memecahkan suatu masalah berdasarkan hukum kufur atau berusaha mengkompromikan Islam dengan sesuatu yang bukan berasal dari Islam. Allah SWT berfirman dalam khithab-Nya kepada Rasul;

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. Al Maidah [5]: 49).

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TQS. Al Maidah [5]: 48).

Karena khithab (seruan) kepada Rasul juga merupakan khithab kepada umatnya, maka khittab itu juga berlaku bagi tiap penguasa Muslim. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membuat hal-hal baru dalam urusan kami yang tidak berasal darinya (Allah dan Rasul-Nya), maka sesuatu itu tertolak.”

Dalam riwayat lain juga dari ‘Aisyah RA dituturkan, “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang perkara kami tidak mengukuhkannya, maka sesuatu itu tertolak.”

Imam Bukhari juga meriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bahwa Ibnu ‘Abbas RA berkata, “Bagaimana kalian bertanya kepada Ahlu Kitab tentang sesuatu, sementara Kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah SAW lebih baru? [Apakah] kalian hanya membacanya, namun tidak menyalakan semangat, sementara telah diceritakan kepada kalian bahwa Ahlu Kitab telah mengganti Kitabullah (Zabur, Injil, dan Taurat) dan mengubahnya serta mereka menulis Al-Kitab dengan tangan-tangan mereka. [Lalu mereka berkata], ‘Ini dari sisi Allah!’ [Yang demikian itu dilakukan] untuk menjual [agama] dengan harga yang sedikit. Ingatlah, dia mencegah kalian apa yang telah datang kepada kalian berupa pengetahuan tentang masalah mereka yang telah datang kepada kalian yang selalu mencegah kalian.”

Bahkan, Islam mewajibkan kaum Muslim untuk memerangi penguasa-penguasa yang telah terjatuh ke dalam kufran shurahan (kekufuran yang nyata). Dan salah satu sebab yang menjatuhkan penguasa ke dalam kufran shurahan adalah; jika ia telah mengganti sendi-sendi Islam dan menerapkan hukum-hukum kufur. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:


سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, “”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”[2]

Dalam hadits ‘Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga diceritakan:


قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ

“Ditanyakan,”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!’ Lalu dijawab, ‘Jangan, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]

Dalam riwayat lain, mereka berkata:


قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!’ Beliau menjawab, ‘Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.”

Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:


دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]

Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang. Jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum mukmin diperbolehkan melepaskan ketaatan dari dan memerangi mereka dengan pedang.

Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, bahwa jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.[3]

Imam al-Khathabiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “kufran bawahan” (kekufuran yang nyata) adalah “kufran dzaahiran baadiyan” (kekufuran yang nyata dan terang benderang)[4]

‘Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw “selama mereka masih mengerjakan sholat”, adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlaaq al-juz`iy wa iradaat al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan).[5]

Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh ‘Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan ‘Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj ‘ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam. Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: ” Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.[6]

Dari penjelasan di atas jelaslah; hukum yang wajib diberlakukan oleh penguasa hanyalah hukum Allah swt dan RasulNya semata.

Inilah beberapa kaedah kepemimpinan di dalam Islam. Sungguh, hanya dengan kepemimpinan dengan karakter seperti di ataslah, umat manusia akan meraih kemulyaan dan kesejahteraan.

Senin, 12 April 2010

Sejarah Nabi Muhammad SAW

Sejarah Nabi Muhammad SAW

Lagi-lagi sebuah sejarah dilupakan, seakan-akan mereka tidak pernah tahu atau mungkin tidak mau tahu, ini adalah sejarah yang tak boleh dilupakan, karena inilah sebab awal penciptaan dan akhir penciptaan, ia bermula 14 abad yang lalu di sebuah kota kecil, sebuah kota yang panas dan tandus yang dipenuhi dengan penyembahan terhadap kayu-kayu dan batu-batu yang tak dapat berbuat apa-apa dan juga disana terdapat sebuah kotak hitam yang dikelilingi oleh “berhala-berhala” yang sekarang telah berubah wujud tapi memiliki wujud “berhala” yang sama. Sungguh tak terpikirkan betapa bodoh manusia zaman itu, ialah sebuah jazirah yang disebut jazirah Arabia, perbuatan buruk dan haram, perampokan, pembunuhan bayi,minum-minuman keras, yang memusnahkan segala kebajikan dan moral menempatkan masyarakat jazirah Arabia ini dalam situasi kemerosotan yang luar biasa. Mereka terpecah-pecah menjadi kabilah-kabilah (bani/kaum).

Kelahiran Sang Nabi

Pada saat yang sangat kritis ini muncullah sebuah bintang pada malam yang gelap gulita, sinarnya semakin terang membuat malam menjadi terang benderang, ia bukan bintang yang biasa, tapi bintang yang sangat luar biasa, bahkan matahari di siang haripun malu menampakkan sinarnya karena bintang ini adalah maha bintang yang terlahirkan ke muka bumi, ialah cahaya dalam kegelapan, ia adalah cahaya di dalam dada, ia dikenal dengan Nama Muhammad, menurut sejarawan bintang ini tepat terlahir tanggal 17 Rabi’ul Awwal (12 Rabi’ul awwal menurut mazhab sunni) 570 M, bintang ini tak pernah padam walaupun 14 abad setelah ketiadaannya, bahkan ia semakin terang dan semakin terang, dari bintang ini terlahir 13 bintang yang lain, yang selalu menjadi hujjah bagi bintang-bintang yang sulit bersinar lainnya di setiap zamannya. Ia memiliki silsilah yang berhubungan langsung dengan jawara Tauhid melalui anaknya Ismail AS, yang dilahirkan melalui rahim-rahim suci dan terpelihara dari perbuatan-perbuatan mensekutukan Tuhan. Ia begitu suci sehingga Tuhan memerintahkan kepada Para Malaikat dan Jin untuk bersujud kepada Adam, karena cahayanya dibawa oleh Adam AS untuk disampaikan kepada maksud, ia adalah rencana Tuhan yang teramat besar yang langit dan bumi pun tak kan sanggup memikulnya.

Peristiwa kelahiran sang bintang dipenuhi dengan kejadian-kejadian yang luarbiasa, dimulai dengan peristiwa padamnya api “abadi” di kerajaan Persia, hancurnya sesembahan batu di sana, dan penyerangan pasukan bergajah untuk menghancurkan Ka’bah, yang di kemudian hari menjadi kiblat baginya dan ummatnya sampai akhir zaman, namun tentara yang besar ini dihancurkan oleh burung-burung yang dikirimkan oleh Sang Pemilik kiblat (Ka’bah), karenanya tahun ini dinamakan tahun Gajah. Sudah menjadi tradisi kelahiran manusia luar biasa harus juga didahului peristiwa yang luar biasa. Muhammad namanya, ayahnya bernama Abdullah, Ibundanya Aminah, kedua orang tuanya berasal dari silsilah yang mulia yang merupakan keturunan Jawara Tauhid (Ibrahim AS). Abdullah lahir kedunia hanya untuk membawa nur Muhammad dan “meletakkannya” ke dalam rahim Aminah, Sang isteri saat itu mengandung (2 bulan) bayi yang kelak menjadi manusia besar. Setelah lama kepergian sang suami, sang isteri merasakan kesepian yang amat dalam, walaupun suaminya selalu berkirim surat. Namun pada saat lain surat tidak lagi ia terima, begitu riang hatinya ternyata ia melihat rombongan dagang suaminya telah pulang, tapi Ia amat terkejut karena tak dilihatnya suaminya, datanglah seseorang dari rombongan tersebut yang menyampaikan berita kepada Aminah, mulutnya begitu berat untuk mengucapkan kata – kata ini kepada wanita ini, ia tidak sanggup mengutarakannya, namun akhirnya terucap juga bahwa sang suami telah berpulang ke hadirat Allah Swt dan dimakamkan di abwa.

Begitu goncang hatinnya mendengarkan hal ini, tak sanggup menahan tangisnya, ia menangis menahan sedih dan tak makan beberapa hari, namun ia bermimpi, dalam mimpinya seorang wanita datang dan berkata kepadanya agar ia menjaga bayi dalam janinnya dengan baik – baik. Ia berulang kali bermimpi bertemu dengan wanita tersebut yang ternyata adalah Maryam binti Imran (Ibu Isa as). Dalam mimpinya sang wanita mulia ini berkata : “Kelak bayi yang ada didalam rahimmu akan menjadi manusia paling mulia sejagat raya, maka jagalah ia baik – baik hingga kelahirannya.

Saat ayahanda Muhammad yang mulia ini Wafat dalam usia 20 tahun (riwayat lain – 17 tahun), sang bintang kita ini sedang berada dalam kandungan ibunya, beberapa tahun kemudian Bunda Sang bintang menyusul suaminya dan dimakamkan di Abwa juga. Muhammad dibawa pulang oleh Ummu Aiman dan diasuh oleh kakeknya, belum lagi hilang duka setelah ditinggal Sang Bunda, ia pun harus kehilangan kakeknya ketika umurnya belum lagi menginjak delapan tahun. Setelah kepergian sang kakek, sang bintang (Muhammad) diasuh oleh pamannya, Abu Tholib, seorang putra Abdul Mutholib yang pertama menyatakan keimanannya kepada kemenakannya sendiri (Muhammad). Pemandu ilahi selalu saja dipilihkan oleh Ilahi untuk memiliki profesi sebagai seorang gembala, melalui profesi ini beliau mengarungi beberapa waktu kehidupannya untuk menjadi “gembala” domba yang lebih besar, inilah pilihan Ilahi yang memilihkan baginya sebuah jalan dimana hal ini penting bagi orang yang akan berjuang melawan orang-orang hina yang berpikiran sampai menyembah aneka batu dan pohon, ilahi menjadikannya kuat sehingga tidak menyerah kepada apapun kecuali keputusan-Nya. Ada penulis sirah yang mengutip kalimat Nabi berikut ini, “ Semua Nabi pernah menjadi gembala sebelum beroleh jabatan kerasulan.” Orang bertanya kepada Nabi,” Apakah Anda juga pernah menjadi gembala?” Beliau menjawab,” Ya. Selama beberapa waktu saya menggembalakan domba orang Mekah di daerah Qararit.”

Sang bintang terlahir bukan dari kalangan orang yang teramat kaya, belum lagi ia dilahirkan sebagai seorang yatim, dan telah kehilangan Ayah, Ibu di masa kecil sebagai tempat bernaung, apa yang dapat dikatakan oleh anak kecil yang telah kehilangan kedua orang tuanya sedangkan dia sendiri masih membutuhkan naungan kedua orang tua dan kasih sayang mereka. Mari kita masuk ke jazirah Arabia lebih jauh lagi, kita dapat melihat bahwa kondisi keuangan Muhammad terbilang cukup sulit. Muhammad terkenal dengan kemuliaan rohaninya, keluhuran budi, keunggulan ahklaq dan dirinya dikenal di masyarakat sebagai “orang jujur” (al-Amin), ia menjadi salah seorang kafilah dagang Khodijah yang terpercaya dan Khodijah memberikan dua kali lipat dibandingkan yang diberikannya kepada orang lain. Kafilah Quraisy, termasuk barang dagangan Khodijah, siap bertolak, kafilah tiba di tempat tujuan. Seluruh anggotanya mengeruk laba. Namun, laba yang diperoleh Nabi lebih banyak ketimbang lain. Kafilah kembali ke Makkah. Dalam perjalanan, Sang bintang melewati negeri ‘Ad dan Tsamud. Keheningan kematian yang menimpa kaum pembangkang itu mengundang perhatian sang bintang.

Kafilah mendekati Mekah, Maisarah, berkata kepada sang Bintang, “Alangkah baiknya jika Anda memasuki Mekah mendahului kami dan mengabarkan kepada Khodijah tentang perdagangan dan keuntungan besar yang kita dapatkan.” Nabi tiba di Mekah ketika Khodijah sedang duduk di kamar atasnya. Ia berlari turun dan mengajak Nabi ke ruangannya. Nabi menyampaikan, dengan menyenangkan, hal-hal menyangkut barang dagangan. Maisarah menceritakan tentang Kebesaran jiwa Al-Amin selama perjalanan dan perdagangan. Maisarah menceritakan “Di Busra, Al-Amin duduk di bawah pohon untuk istirahat. Seorang pendeta, yang sedang duduk di biaranya, kebetulan melihatnya. Ia datang seraya menanyakan namanya kepada saya, kemudian ia berkata, ‘Orang yang duduk di bawah naungan pohon itu adalah nabi, yang tentangnya telah saya baca banyak kabar gembira di dalam Taurat dan Injil.

Kemudian Khodijah menceritakan apa yang didengarnya dari Maisarah kepada Waraqah bin Naufal, si hanif dari Arabia. Waraqah mengatakan, “Orang yang memiliki sifat-sifat itu adalah nabi berbangsa Arab.

Pernikahan

Kebanyakan sejarawan percaya bahwa yang menyampaikan lamaran Khadijah kepada Nabi ialah Nafsiah binti ‘Aliyah sebagai berikut:

“Wahai Muhammad! Katakan terus terang, apa sesungguhnya yang menjadi penghalang bagimu untuk memasuki kehidupan rumah tangga? Kukira usiamu sudah cukup dewasa!” Apakah anda akan menyambut dengan senang hati jika saya mengundang Anda kepada kecantikan, kekayaan, keanggunan, dan kehormatan ?” Nabi menjawab,”Apa maksud Anda?” Ia lalu menyebut Khodijah. Nabi lalu berkata,” Apakah Khodijah siap untuk itu, padahal dunia saya dan dunianya jauh berbeda?” Nafsiah berujar “Saya mendapat kepercayaan dari dia, dan akan membuat dia setuju. Anda perlu menetapkan tanggal perkawinan agar walinya (‘Amar bin Asad) dapat mendampingi Anda beserta handai tolan Anda, dan upacara perkawinan dan perayaan dapat diselenggarakan".

Kemudian Muhammad membicarakan hal ini kepada pamannya yang mulia, Abu Tholib. Pesta yang agung pun diselenggarakan, sang paman yang mulia ini menyampaikan pidato, mengaitkannya dengan puji syukur kepada Tuhan. Tentang keponakannya, ia berkata demikian, “Keponakan saya Muhammad bin ‘Abdullah lebih utama daripada siapapun di kalangan Quraisy. Kendati tidak berharta, kekayaan adalah bayangan yang berlalu, tetapi asal usul dan silsilah adalah permanen".

Waraqah, paman Khodijah, tampil dan mengatakan sambutannya, “Tak ada orang Quraisy yang membantah kelebihan Anda. Kami sangat ingin memegang tali kebangsawanan Anda.” Upacara pun dilaksanakan. Mahar ditetapkan empat puluh dinar-ada yang mengatakan dua puluh ekor unta.

Sang bintang sekarang mulai dewasa, ia mempunyai seorang istri yang begitu lengkap kemuliaannya, dari perkawinan ini Khodijah melahirkan enam orang anak, dua putra, Qasim, dan Abdulah, yang dipanggil At-Thayyib, dan At-Thahir. Tiga orang putrinya masing-masing Ruqayyah, Zainab, Ummu Kaltsum, dan Fatimah. Kedua anak laki-lakinya meninggal sebelum Muhammad diutus menjadi Rosul.

Ketika umur sang bintang mulai menginjak 35 tahun, banjir dahsyat mengalir dari gunung ke Ka’bah. Akibatnya, tak satu pun rumah di Makah selamat dari kerusakan. Dinding ka’bah mengalami kerusakan. Orang Quraisy memutuskan untuk membangun Ka’bah tapi takut membongkarnya. Walid bin Mughirah, orang pertama yang mengambil linggis, meruntuhkan dua pilar tempat suci tersebut. Ia merasa takut dan gugup. Orang Mekah menanti jatuhnya sesuatu, tapi ketika ternyata Walid tidak menjadi sasaran kemarahan berhala, mereka pun yakin bahwa tindakannya telah mendapatkan persetujuan Dewa. Mereka semua lalu ikut bergabung meruntuhkan bangunan itu. Pada saat pembangunan kembali ka’bah, diberitahukan pada semua pihak sebagai berikut, “Dalam pembangunan kembali Ka’bah, yang dinafkahkan hanyalah kekayaan yang diperoleh secara halal. Uang yang diperoleh lewat cara-cara haram atau melalui suap dan pemerasan, tak boleh dibelanjakan untuk tujuan ini.” Terlihat bahwa ini adalah ajaran para Nabi, dan mereka mengetahui tentang kekayaan yang diperoleh secara tidak halal, tetapi kenapa mereka masih melakukan hal demikian, inipun terjadi di zaman ini, di Indonesia, rakyat ataupun pemerintahnya mengetahui tentang halal dan haramnya suatu harta kekayaan atau pun perbuatan yang salah dan benar, tapi mereka masih saja melakukan perbuatan itu walaupun tahu itu adalah salah.

Mari kita kembali lagi menuju Mekah, ketika dinding ka’bah telah dibangun dalam batas ketinggian tertentu, tiba saatnya untuk pemasangan Hajar Aswad pada tempatnya. Pada tahap ini, muncul perselisihan di kalangan pemimpin suku. Masing-masing suku merasa bahwa tidak ada suku yang lain yang pantas melakukan perbuatan yang mulia ini kecuali sukunya sendiri. Karena hal ini, maka pekerjaan konstruksi tertunda lima hari. Masalah mencapai tahap kritis, akhirnya seorang tua yang disegani di antara Quraisy, Abu Umayyah bin Mughirah Makhzumi, mengumpulkan para pemimpin Quraisy seraya berkata,”Terimalah sebagai wasit orang pertama yang masuk melalui Pintu Shafa.” (buku lain mencatat Bab as-salam). Semua menyetujui gagasan ini. Tiba-tiba Muhammad muncul dari pintu. Serempak mereka berseru, “Itu Muhammad, al-Amin. Kita setuju ia menjadi wasit!”

Untuk menyelesaikan pertikaian itu, Nabi meminta mereka menyediakan selembar kain. Beliau meletakkan Hajar Aswad di atas kain itu dengan tangannya sendiri, kemudian meminta tiap orang dari empat sesepuh Mekah memegang setiap sudut kain itu. Ketika Hajar Aswad sudah diangkat ke dekat pilar, Nabi meletakkannya pada tempatnya dengan tangannya sendiri. Dengan cara ini, beliau berhasil mengakhiri pertikaian Quraisy yang hampir pecah menjadi peristiwa berdarah.

Tuhan, Sang Maha Konsep sudah membuat konsep tentang semua ini, tanda-tanda seorang bintang telah banyak ia tampakkan pada diri Muhammad, dari batinnya yang mulia sampai pada bentuk lahirnya yang indah. Kesabaran yang diabadikan di dalam Kitab suci menjadi bukti yang tak terbantahkan, bahwa ia adalah manusia sempurna, dalam wujud lahiriah (penampakan), maupun batinnya. Tidak setitik cela apalagi kesalahan selama hidupnya, Sang Maha Konsep benar-benar telah mengonsepnya menjadi manusia ‘ilahi’. Al-Amin telah dikenal oleh masyarakat Mekah, sebagai manusia mulia, sebagai manifestasi wujud kejujuran mutlak. Sebelum pengutusannya menjadi Rosul, Muhammad selalu mengamati tanda kekuasaan Tuhan, dan mengkajinya secara mendalam, terutama mengamati keindahan, kekuasaan, dan ciptaan Allah dalam segala wujud. Beliau selalu melakukan telaah mendalam terhadap langit, bumi dan isinya. Beliau selalu mengamati masyarakatnya yang rusak, dan hancur, beliau mempunyai tugas untuk menghancurkan segala bentuk pemberhalaan. Apalah kiranya yang membuat masyarakatnya seperti ini, ia mengembalikan semua ini kepada Tuhan, yang menurutnya tak mungkin sama dengan manusia.

Gunung Hira, puncaknya dapat dicapai kurang lebih setengah jam, gua ini adalah saksi atas peristiwa menyangkut “sahabat karib”-nya (Muhammad), gua ini menjadi saksi bisu tentang wahyu, dan seakan-akan ia ingin berkata,” disinilah dulu anak Hasyim itu tinggal, yang selalu kalian sebut-sebut, disinilah ia diangkat menjadi Rosul, disinilah Al-Furqon pertama kali dibacakan, wahai manusia, bukankah aku telah mengatakannya, kalianlah (manusia) yang tak mau menengarkannya, kalian menutup telinga kalian rapat-rapat, dan menertawakanku, sedangkan sebagian dari kalian hanya menjadikan aku sebagai museum sejarah.“kata saksi bisu.

Diangkat Menjadi Rasul

Hira, tempat diturunkannya kalimat Tuhan Yang Maha Sakti, kalimat yang membuat iblis berputus asa untuk menyesatkan manusia, kalimat yang dengannya alam semesta berguncang. Al-Qur’an, susunan kalimatnya yang mengandung makna yang banyak telah membuat tercengang manusia-manusia manapun di jagat raya, yang mengakui kebenarannya, akan mengikutinya, sedangkan yang tidak mengakuinya harus tunduk atas kebenarannya, dan bagi mereka yang menolak, dengan cara apapun akan sia-sia, dan celaka. Jibril (Ruh Al-Qudus) diutus Tuhan semesta Alam, Sang Pemilik Konsep, untuk menyampaikan kalimat-Nya secara berangsur-angsur kepada Al-amin yang berada di Gunung Hira’. Al-Amin telah mempersiapkan dirinya selama empat puluh tahun untuk memikul tugas yang maha berat ini, Jibril datang kepadanya dengan membawa beberapa kalimat dari Tuhannya. Ialah kalimat pertama yang dikemukakan dalam Al-qur’an sebagai berikut

“Bacalah dengan [ menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang mengajari [manusia] dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Ayat ini dengan tegas menyatakan tentang program Nabi, dan menyatakan dalam istilah-istilah jelas bahwa fondasi agamanya diberikan dengan pengkajian, pengetahuan, kebijaksanaan, dan penggunaan pena.

Muhammad, pembawa berita bahagia, ancaman, dan perintah merupakan manusia teladan sepanjang masa, ia adalah manusia dalam wujud Ilahiah, utusan Tuhan yang kepadanya ummat manusia memohonkan syafa’at. Tidak satupun mahkluq yang mencapai kesempurnaan yang dicapai Muhammad, sejak kecil ia telah memperlihatkan ketulusan, kejujuran, manusia yang seumur hidupnya tidak pernah berbohong, yang tidak pernah menghianati janji, dan sayang kepada yang miskin.

Malaikat Jibril menyelesaikan tugasnya menyampaikan wahyu itu, dan Muhammad pun turun dari Gua Hira menuju rumah “Khodijah”. Jiwa agung Nabi disinari cahaya wahyu. Beliau merekam di hatinya apa yang didengarnya dari malaikat Jibril. Setelah kejadian ini, Jibril menyapanya,”Wahai Muhammad! Engkau Rosul Allah dan aku Jibril”. Muhammad menerima kalimat Tuhannya secara bertahap, secara berangsur-angsur, fakta sejarah mengakui bahwa di antara wanita, Khodijah adalah wanita yang pertama memeluk Islam, dan pria pertama yang memeluk Islam adalah ‘Ali.

Muhammad mengadakan perjamuan makan dengan kerabatnya, selesai makan, beliau berpaling kepada para sesepuh keluarganya dan memulai pembicaraan dengan memuji Allah dan memaklumkan keesaan-Nya. Lalu beliau berkata,” Sesungguhnya, pemandu suatu kaum tak pernah berdusta kepada kaumnya. Saya bersumpah demi Allah yang tak ada sekutu bagi-Nya bahwa saya diutus oleh Dia sebagai Rosul-Nya, khususnya kepada Anda sekalian dan umumnya kepada seluruh penghuni dunia. Wahai kerabat saya! Anda sekalian akan mati. Sesudah itu, seperti Anda tidur, Anda akan dihidupkan kembali dan akan menerima pahala menurut amal Anda. Imbalannya adalah surga Allah yang abadi (bagi orang lurus) dan neraka-Nya yang kekal(bagi orang yang berbuat jahat). “Lalu beliau menambahkan, “Tak ada manusia yang pernah membawa kebaikan untuk kaumnya ketimbang apa yang saya bawakan untuk Anda. Saya membawakan kepada Anda rahmat dunia maupun Akhirat. Tuhan saya memerintahkan kepada saya untuk mengajak Anda kepada-Nya. Siapakah diantara Anda sekalian yang akan menjadi pendukung saya sehingga ia akan menjadi saudara, washi (penerima wasiat), dan khalifah (pengganti) saya?”.

Ketika pidato Nabi mencapai poin ini, kebisuan total melanda pertemuan itu. ‘Ali, remaja berusia lima belas tahun, memecahkan kebisuan itu. Ia bangkit seraya berkata dengan mantap,” Wahai Nabi Allah, saya siap mendukung Anda.” Nabi menyuruhnya duduk. Nabi mengulang tiga kali ucapannya, tapi tak ada yang menyambut kecuali ‘Ali yang terus melontarkan jawaban yang sama. Beliau lalu berpaling kepada kerabatnya seraya berkata,” Pemuda ini adalah saudara, washi, dan khalifah saya diantara kalian. Dengarkanlah kata-katanya dan ikuti dia".

Pemakluman khilafah (imamah) ‘Ali di hari-hari awal kenabian Muhammad memperlihatkan bahwa dua kedudukan ini berkaitan satu sama lain. Ketika Rosulullah diperkenalkan kepada masyarakat, khalifahnya juga ditunjuk dan diperkenalkan pada hari itu juga. Ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa kenabian dan imamah merupakan dua hal yang tak terpisahkan.

Peristiwa diatas membuktikan heroisme spiritual dan kebenaran ‘Ali. Karena, dalam pertemuan di mana orang-orang tua dan berpengalaman tenggelam dalam keraguan dan keheranan, ia menyatakan dukungan dan pengabdian dengan keberanian sempurna dan mengungkapkan permusuhannya terhadap musuh Nabi tanpa menempuh jalan politisi yang mengangkat diri sendiri. Kendati waktu itu ia yang termuda diantara yang hadir, pergaulannya yang lama dengan Nabi telah menyiapkan pikirannya untuk menerima kenyataan, sementara para sesepuh bangsa ragu-ragu untuk menerimanya.

Setelah berdakwah kepada kaum kerabatnya, Nabi berdakwah terang-terangan kepada kaum Quraisy. Muhammad, berbekal kesabaran, keyakinan, kegigihan, dan keuletan dalam berdakwah terus-menerus dan tidak menghiraukan orang-orang musrik yang terus menghardik dan mengejeknya. Banyak yang cara yang dilakukan kaum Quraisy untuk menghentikan Muhammad, suatu saat Abu Tholib sedang duduk bersama keponakannya. Juru bicara rombongan yang mendatangi rumah Abu Tholib membuka pembicaraan dengan berkata,” Wahai Abu Tholib! Muhammad mencerai-beraikan barisan kita dan menciptakan perselisihan diantara kita. Ia merendahkan kita dan mencemooh kita dan berhala kita. Jika ia melakukan itu karena kemiskinan dan kepapaannya, kami siap menyerahkan harta berlimpah kepadanya. Jika ia menginginkan kedudukan, kami siap menerimanya sebagai penguasa kami dan kami akan mengikuti perintahnya. Bila ia sakit dan membutuhkan pengobatan, kami akan membawakan tabib ahli untuk merawatnya…”.

Abu Tholib berpaling kepada Nabi seraya berkata,“ Para sesepuh anda datang untuk meminta Anda berhenti mengkritik berhala supaya mereka pun tidak mengganggu Anda.” Nabi menjawab,” Saya tidak menginginkan apa pun dari mereka. Bertentangan dengan empat tawaran itu, mereka harus menerima satu kata dari saya, yang dengan itu mereka dapat memerintah bangsa Arab dan menjadikan bangsa Ajam sebagai pengikut mereka.” Abu Jahal bangkit sambil berkata, “ Kami siap sepuluh kali untuk mendengarnya.” Nabi menjawab,” Kalian harus mengakui keesaan Tuhan.” Kata-kata tak terduga dari Nabi ini laksana air dingin ditumpahkan ke ceret panas. Mereka demikian heran, kecewa, dan putus asa sehingga serentak mereka berkata,” Haruskah kita mengabaikan 360 Tuhan dan menyembah kepada satu Allah saja?”

Orang Quraisy meninggalkan rumah Abu Tholib dengan wajah dan mata terbakar kemarahan. Mereka terus memikirkan cara untuk mencapai tujuan mereka. Dalam ayat berikut, kejadian itu dikatakan,

“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata,’Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja ? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.’ Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka [seraya berkata], ‘Pergilah kamu dan tetaplah [menyembah] tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir ini; ini(mengesakan Allah) tidak lain kecuali dusta yang diada-adakan.”

Banyak sekali contoh penganiayaan dan penyiksaan kaum Quraisy, Tiap hari nabi menghadapi penganiayaan baru. Misalnya, suatu hari Uqbah bin Abi Mu’ith melihat Nabi bertawaf, lalu menyiksanya. Ia menjerat leher Nabi dengan serbannya dan menyeret beliau ke luar masjid. Beberapa orang datang membebaskan Nabi karena takut kepada Bani Hasyim. Dan masih banyak lagi. Nabi menyadari dan prihatin terhadap kondisi kaum Muslim. Kendati beliau mendapat dukungan dan lindungan Bani Hasyim, kebanyakan pengikutnya budak wanita dan – pria serta beberapa orang tak terlindung. Para pemimpin Quraisy menganiaya orang-orang ini terus-menerus , para pemimpin terkemuka berbagai suku menyiksa anggota suku mereka sendiri yang memeluk Islam. Maka ketika para sahabatnya meminta nasihatnya menyangkut hijrah, Nabi menjawab, “Ke Etiopia akan lebih mantap. Penguasanya kuat dan adil, dan tak ada orang yang ditindas di sana. Tanah negeri itu baik dan bersih, dan Anda boleh tinggal di sana sampai Allah menolong Anda.

Pasukan Syirik Quraisy kehabisan akal untuk menghancurkan Muhammad, maka mereka melakukan propaganda anti Muhammad, diantaranya mereka memfitnah Nabi, Bersikeras menjuluki Nabi Gila, larangan mendengarkan Al-Qur’an, menghalangi orang masuk Islam, sehingga Allah mengabadikan perkataan orang-orang keji ini dan menunjukkan sesatnya perkataan mereka, dalam Al-Qur’an Allah berfirman

“Demikianlah, tiada seorang rosul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka selain mengatakan,’ Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.’ Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu ? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.”

Kaum Quraisy pun gagal melakukan berbagai macam cara untuk menghalangi usaha Muhammad, dan menghalangi orang-orang untuk mengikuti agama Tuhan Yang Esa. Mereka pun melakukan Blokade ekonomi yang membuat banyak kaum muslim, terutama kaum wanita dan anak-anak kelaparan. Nabi dan para pengikutnya masuk ke Syi’ib Abu Tholib, yang diikuti pendamping hidupnya, Khodijah, dengan membawa serta Fatimah AS. Orang-orang Quraisy mengepung mereka di Syi’ib itu selama tiga tahun. Dan akhirnya tahun-tahun blokade itu pun berakhir. Dan keluarlah sang bintang bersama keluarga dan sahabatnya dari pengepungan. Allah telah menetapkan kemenangan bagi mereka, dan Khodijah pun berhasil pula keluar dari pengepungan dalam keadaan amat berat dan menderita, Beliau telah hidup dengan kehidupan yang menjadi teladan Istimewa bagi kalangan kaum wanita. Ajal Khodijah sudah dekat. Allah telah memilihnya untuk mendampingi Rosulullah Saww., dan dia telah berhasil menunaikan tugas dengan baik. Khodijah akhirnya meninggal pada tahun itu juga. Yakni, pada saat kaum Muslim keluar dari blokade orang-orang Quraisy, tahun kesepuluh sesudah Kenabian. Pada tahun yang sama, paman Rosul (Abu Tholib) meninggal dunia, yang sekaligus sebagai pelindung dakwa Muhammad. Sungguh Nabi mengalami kesedihan yang amat berat. Beliau kehilangan Khodijah, dan juga pamannya yang menjadi pelindung, dan pembelanya. Itu sebabnya, maka tahun ini dinamakan ‘Am Al-Huzn (Tahun Duka cita). Bukan hanya Rosul yang terpukul hatinya, Fatimah, yang belum kenyang mengenyam kasih sayang seorang ibu dan kelembutan belaiannya, ikut pula menanggungnya. Kedukaan menyelimuti dan menindihnya di tahun penuh kesedihan itu.Fatimah kehilangan ibundanya, berpisah dari orang yang menjadi sumber cintanya dan kasih sayangnya. Acap kali dia bertanya kepada ayahandanya,” Ayah, kemana Ibu?” Kalau sudah begini, tangisnya pecah, air matanya meleleh, dan kesedihan menerpa hatinya. Rosul merasakan betapa berat kesedihan yang ditanggung putrinya. Setelah wafatnya Abu Tholib kaum Kafir Quraisy semakin berani menganggu Muhammad, akhirnya Muhammad berhijrah ke Yastrib, peristiwa hijrahnya Nabi ke Yastrib, merupakan momen awal dari lahirnya negara Islam. Penduduk Yastrib bersedia memikul tanggung jawab bagi keselamatan Nabi. Di bulan Robi’ul Awwal tahun ini, saat hijrahnya Nabi terjadi, tak ada seorang muslim pun yang tertinggal di Mekah kecuali Nabi, ‘Ali dan Abu Bakar, dan segelintir orang yang ditahan Quraisy atau karena sakit,dan lanjut usia.

Kaum Quraisy yang berada di Mekah akhirnya membuat kesepakatan untuk membunuh Muhammad di malam hari, dan masing-masing suku mempunyai wakil, sehingga Bani Hasyim tidak dapat menuntut balas atas kematian Muhammad. Orang-orang ini memang bodoh, mereka mengira Muhammad dapat dihancurkan hanya dengan cara seperti ini, seperti urusan duniawi mereka. Jibril datang memberitahu Nabi tentang rencana kejam kaum kafir itu. Al-Qur’an merujuk pada kejadian itu dengan kata-kata,

“Dan [ingatlah] ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.

Ali berbaring melewati cobaan yang mengerikan demi keselamatan Islam menggantikan Nabi, sejak sore. Ia bukan orang tua yang lanjut usia, tapi seorang anak muda yang begitu berani mengorbankan nyawanya untuk sang Nabi, ia, yang bersama Khodijah adalah orang yang pertama-tama beriman kepada Nabi, dialah orang yang rela berkorban untuk Nabi, Ali, sekali lagi ‘Ali. Kepadanya Nabi berkata,”Tidurlah di ranjang saya malam ini dan tutupi tubuh Anda dengan selimut hijau yang biasa saya gunakan, karena musuh telah bersekongkol membunuh saya. Saya harus berhijrah ke Yastrib. ‘Ali menempati ranjang Nabi sejak sore. Ketika tiga perempat malam lewat, empat puluh orang mengepung rumah nabi dan mengintipnya melalui celah. Mereka melihat keadaan rumah seperti biasanya, dan menyangka bahwa orang yang sedang tidur di kamar itu adalah Nabi.

Hijrah

Kini tiba fajar. Semangat dan gairah besar tampak di kalangan musyrik itu. Mereka begitu yakin akan segera berhasil. Dengan pedang terhunus mereka memasuki kamar Nabi, yang menimbulkan suara gaduh. Serentak ‘Ali mengangkat kepalanya dari bantal dan menyingkirkan selimutnya lalu berkata dengan sangat tenag,”Apa yang terjadi ?” Mereka menjawab,”Kami mencari Muhammad. Di mana dia?” ’Ali berkata,” Apakah anda menitipkannya kepada saya sehingga saya harus menyerahkannya kembali kepada Anda? Bagaimanapun, sekarang ia tak ada di rumah.” Muhammad telah pergi jauh di luar pengetahuan mereka.

Nabi, tiba di Quba tanggal 12 Rabi’ul Awwal, dan tinggal di rumah Ummu Kultsum ibn al-Hadam. Sejumlah Muhajirin dan Ansor sedang menunggu kedatangan Nabi. Beliau tinggal di situ sampai akhir pekan. Sebagian orang mendesak agar beliau segera berangkat ke Madinah, tetapi beliau menunggu kedatangan ‘Ali. Orang Quraisy mengetahui hijrahnya ‘Ali dan rombongannya – diantaranya ialah Fatimah, puteri Nabi, Fatimah binti ‘Asad dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutholib – karena itu, mereka memburunya dan berhadap-hadapan dengan dia di daerah Zajnan. Perselisihan pun terjadi dan ‘Ali berkata “Barangsiapa menghendaki tubuhnya terpotong-potong dan darahnya tumpah, majulah! Tanda marah nampak di wajahnya. Orang-orang Quraisy yang merasa bahwa masalah telah menjadi serius, mengambil sikap damai dan berbalik pulang.” Ketika ‘Ali tiba di Quba, kakinya berdarah, dikarenakan menempuh perjalanan Makah Madinah dengan berjalan kaki. Nabi dikabari bahwa, ‘Ali telah tiba tapi tak mampu menghadap beliau. Segera nabi ke tempat ‘Ali lalu merangkulnya. Ketika melihat kaki ‘Ali membengkak, air mata Nabi menetes".

Penduduk Yastrib – yang kemudian berganti menjadi nama Madinah - menyambut kedatangan Nabi. Mereka mengucapkan berbagai macam syair untuk menyambut manusia mulia ini. Disinilah manifestasi sebuah negara Islam pertama kali didirikan. Muhammad menyusun kekuatannya di Madinah bersama keluarga dan sahabat setianya yang rela meninggalkan tanah air dan hartanya untuk Tuhannya, islam yang muda ini menyusun kekuatan untuk menghadapi kekuatan kaum Quraisy yang setiap saat siap untuk menghancurkan Islam yang dibangun ini, perang demi perang mulai dari Badar, Uhud, Khandaq, yang disetiap perang tampillah Al-Washi Muhammad yang selalu menjadi pemberi moral kepada pasukan untuk menghancurkan kafir Quraisy dengan Iman yang membara. Pada perang Badar ‘al-washi (‘Ali) dan Hamzah tampil menghadapi pemberani kafir Quraisy, dalam sepucuk suratnya kepada Muawiyah, ‘Ali mengingatkannya dalam kata-kata ‘Pedang saya yang saya gunakan untuk membereskan kakek anda dari pihak ibu (Utbah, ayah dari Hindun Ibu Muawiyah), paman anda dari pihak Ibu (Walid bin Uthbah) dan saudara Anda (Hanzalah) masih ada pada saya. Pada perang Uhud Nabi dan lagi-lagi Hamzah dan ‘Ali tidak pernah Absen, ‘Ali adalah pembawa panji dalam setiap peperangan. Nabi mengungkapkan nilai pukulan ‘Ali pada perang Khandaq (parit) – disebut juga dengan Ahzab – kepada ‘Amar bin ‘Abdiwad itu,” Nilai pengorbanan itu melebihi segala perbuatan baik para pengikutku, karena sebagai akibat kekalahan jagoan kafir terbesar itu kaum Muslim menjadi terhormat dan kaum kafir menjadi aib dan terhina".

Benteng Khaibar

Pada perang Khaibar ketika semangat kaum muslim mengendur dan merasa tidak mampu untuk menghancurkan benteng Khaibar, orang-orang menunggu dengan gelisah dan ketakutan, karena sebelumnya Abu Bakar dan Umar tidak ada yang mampu menghancurkan benteng, bahkan ‘Umar memuji keberanian pemimpin benteng, Marhab,yang luar biasa yang membuat Nabi dan para komandan Islam kecewa atas pernyataan ‘Umar ini.

Kebisuan orang-orang sedang menunggu dengan gelisah dipecahkan oleh kata-kata Nabi,” Dimanakah ‘Ali? “ Dikabarkan kepada beliau bahwa ‘Ali menderita sakit mata dan sedang beristirahat di suatu pojok. Nabi bersabda,” Panggil dia.” ‘Ali diangkut dengan unta dan diturunkan di depan kemah Nabi.” Pernyataan ini menunjukkan sakit matanya demikian serius sampai tak mampu berjalan. Nabi menggosokkan tangannya ke mata ‘Ali seraya mendoakannya. Mata ‘Ali langsung sembuh dan tak pernah sakit lagi sepanjang hidupnya. Nabi memerintahkan ‘Ali maju, menurut riwayat pintu benteng Khaibar itu terbuat dari batu, panjangnya 60 inci, dan lebarnya 30 inci. Mengutip kisah pencabutan pintu benteng Khaibar itu dari ‘Ali melalui jalur khusus,” Saya mencabut pintu Khaibar dan menggunakannya sebagai perisai. Seusai pertempuran, saya menggunakannya sebagai jembatan pada parit yang digali kaum Yahudi.” Seseorang bertanya kepadanya,” Apakah Anda merasakan beratnya?” ‘Ali menjawab,” Saya merasakannya sama berat dengan perisai saya.” Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lain selain peperangan untuk melawan kebejatan kaum kafir Quraisy, banyak juga peristiwa yang menggembirakan, misalnya peristiwa pernikahan al-Washi dan Fatimah, putri Nabi, perubahan kiblat dari Bait al-Maqdis ke Ka’bah di Makah. Selain serangan dari luar Kota Madinah, kaum Yahudi yang berada di dalam kota selalu mencoba melakukan rongrongan terhadap pemerintahan Islam yang masih muda ini, namun Sang Maha Konsep telah menentukan Drama yang berbeda, walaupun mereka mencoba memadamkan nur cahaya-Nya, namun Ia terus menerangi Nur Cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu benci.


Fath Makkah

Tahun kedelapan Hijrah, perjanjian Hudaibiyah dikhianati oleh orang-orang Quraisy mekah, Nabi segera mengeluarkan perintah kesiagaan umum. Beliau siapkan pasukan besar yang belum pernah disaksikan kehebatannya selama ini. Ketika pasukan telah lengkap dan siap bergerak, Nabi pun menyampaikan bahwa sasarannya adalah Mekah. Pasukan bergerak laksana migrasi kawanan burung menuju arah selatan. Nabi memerintahkan kepada pasukannya yang berjumlah 10.000 orang untuk membagi diri, dan menyalakan api unggun di malam hari agar pasukan musuh melihat betapa besar pasukan musuh tersebut.

Di dekat kuburan Abu Tholib dan Khodijah yang terletak di punggung Mekah, kaum muslimin membuat kubah untuk Nabi. Dari kubah inilah Nabi mengamati dengan cermat arus pasukan Islam yang masuk ke kota dari empat penjuru.

Makkah... Membisu di depan Nabi dan pendukungnya. Ya Mekah membisu dan tidak lagi menyerukan teriakan Fir’aun-fir’aun, digantikan hiruk pikuk suara 10.000 prajurit Muslim yang menggema yang seakan-akan sedang menunggu kedatangan sahabatnya

Gua itu menatap kepada orang yang dulu berada dalam perutnya dalam keadaan terusir yang kini telah berdiri tegap dengan gagah dan dikelilingi puluhan ribu pengikut dan pembelanya.

Nabi memasuki Mekah dan bertawaf, menghancurkan berhala-berhala bersama al-Washi, tidak ada darah yang tertumpah. Orang-orang Quraisy yang berada di Makkah menunggu bibir Muhammad berucap tentang mereka, apakah yang akan terjadi pada mereka, namun bibir itu begitu mulia untuk menjatuhkan hukuman, ia memberikan kepada mereka yang telah memeranginya pengampunan dan beliau berkata “... Pergilah, Anda semua adalah orang-orang yang dibebaskan!”

Kini, di Shafa, laki-laki yang telah membuat sejarah itu telah kembali, berdiri di depan kehidupannya yang sarat dengan berbagai peristiwa dan yang ditangannya tergenggam masa depan yang gemilang. Selama dua puluh tahun penggembalaannya tak pernah henti, ia tak pernah merasakan letih, kesabarannya begitu tinggi, tak pernah menyerah. Orang –orang Quraisy berdesak-desakkan di bukit Shafa untuk memberikan Ba’iat.

Setelah penaklukan Mekah masih ada beberapa peperangan besar berlanjut – semasa hidup Nabi - yaitu Hunain, Tabuk. Al-Washi tampil dengan gagah perkasa dalam peperangan ini, sesudah membuat kocar-kacir musuh, al-washi segera menghambur untuk bergabung dengan Nabi, ia memutari Nabi, dan menghambur membabat musuh untuk melindungi Nabi, dan pada kali yang lain menemui prajurit musuh yang lari dan menghadang kejaran musuh. Sesudah itu kembali memutari Nabi. Nabi memanggil sahabat-sahabatnya yang lari cerai-berai “ Ayyuhan Nas, mau kemana kalian ?” Wahai orang-orang yang ikut bai’at al-Ridwan! Wahai, orang-orang yang kepadanya diturunkan surat Al-Baqarah! Wahai orang-orang yang berbaiat di bawah pohon...! orang-orang Madinah yang gagah berani segera sadar akan diri mereka! Dan ingat bahwa hingga saat ini mereka adalah tulang punggung Nabi. Kini Nabi memanggil mereka di tengah 12.000 orang prajurit, dua ribu diantaranya adalah kaum kerabatnya. Mereka segera menghambur ke arah Nabi menyambut panggilannya dengan, “Labbaik, Labbaik... Kami datang, kami datang...!”

Pasukan Islam kembali memenangkan pertempuran, peran individual Muhammad dalam menyampaikan risalah agungnya telah selesai, dan kini – tidak bisa – tidak di harus melihat pasukannya, untuk kesekian kalinya, mengingat dan mengenang kembali pelajaran yang telah diberikannya selama dua puluh tiga tahun, agar di bisa mengevaluasidan menelitinya kembali.


Haji Wada

Tahun kesebelas Hijrah, haji pertama Nabi dan kaum Muslimin tanpa ada seorang musrik pun yang ikut didalamnya, untuk pertama kalinya pula, lebih dari 10.000 orang berkumpul di Madinah dan sekitarnya, menyertai Nabi melakukan perjalanan ke Makkah, dan .. sekaligus inilah haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi. Rombongan haji meninggalkan Madinah tanggal 25 Dzulqa’idah , Nabi disertai semua isterinya, menginap satu malam di Dzi Al-Hulaifah, kemudian melakukan Ihram sepanjang Subuh, dan mulai bergerak... seluruh padang terisi gema suara mereka yang mengucapkan,”Labbaik, Allahumma labaik... Labbaik, la syarika laka, ! Aku datang memenuhi panggilanmu, Allahumma, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu...Labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Segala puji, kenikmatan, dan kemaharajaan, hanya bagi-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu... Labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu...” Langit, hingga hari itu, belum pernah menyaksikan pemandangan di muka bumi seperti yang ada pada saat itu. Lebih dari 100.000 orang, laki-laki dan perempuan – dibawah sengatan Matahari yang amat terik dan di padang pasir yang sebelumnya tak pernah dikenal orang – bergerak menuju satu arah. Medan ini merupakan lukisan paling indah dari satu warna yang menghiasi kehidupan manusia. Dan sejarah, adalah kakek tua yang terbelenggu dalam pengabdian terhadap kepentingan-kepentingan. Ia adalah tukang cerita yang membacakan hikayat-hikayat Fir’aun, Kisra dan Kaisar. Sejarah sekali melihat Muhammad dan orang-orang yang bergerak bersamanya dengan heran! Aneh sekali. Pasukan apa ini? Komandan berjalan kaki kelelahan, dan pengikut-pengikutnya pun demikian pula. Nabi memang berjalan kaki bersama umatnya. Sejarah memang mendengar bahwa “penguasa” itu berada di tengah-tengah pasukan itu, tapi ketika dicari-carinya, dia tak bisa menemukannya. Rombongan itu masuk Mekah 4 Dzulhijjah, disitu telah berkumpul Allah, Ibrahim, Ka’bah dan Muhammad. Dia juga ingin memperlihatkan kepada Ibrahim, bahwa karya besarnya, kita sudah diantarkan kepada Maksud.

Matahari tepat di tengah siang hari itu. Seakan-akan ia menumpahkan seluruh cahayannya yang memakar ke atas kepala semua orang. Nabi berdiri di depan lebih dari 100.000 orang. Laki-laki dan perempuan yang mengelilinginya. Nabi memulai pidatonya, Rosulullah berkata,”Tahukah kalian, bulan apa ini ?”

Mereka serentak menjawab,”Bulan Haram!” .....

...”Ayyuhan Nas, camkan baik-baik perkataanku. Sebab, aku tidak tahu, mungkin aku tidak lagi akan bertemu dengan kalian sesudah tahun ini, di tempat ini, untuk selama-lamanya... Ayyuhan Nas, sesungguhnya darah dan hartamu adalah haram bagimu hingga kalian menemui Tuhanmu sebagaimana diharamkannya hari dan bulanmu ini. Sesudah itu, kamu sekalian akan menemui Tuhanmu dan ditanya tentang amal-amalmu. Sungguh, aku telah sampaikan hal ini. Maka, barangsiapa yang masih mempunyai amanat, hendaknya segera disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya.....”

Akar-akar syirik telah dihapuskan dari Mekah, dan Mekah menjadi sebuah kota suci bagi kaum muslim, tempat berkumpulnya muslimin dari seluruh penjuru dunia, dengan menggunakan pakaian yang sama, menuju Tuhannya, tidak ada perbedaan, baik kaya, miskin, raja, rakyat, semuanya sama dihadapan Tuhan, yang membedakannya adalah takwa.

Muhammad telah melaksanakan tugasnya, dan sekarang beliau berada di pembaringan, Nabi membuka mata seraya berkata kepada putrinya dengan suara pelan “Muhammad tidak lain hanyalah seorang Rosul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rosul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang? Barangsiapa berpaling ke belakang, maka tidak akan mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.[Petikan dari laman. http://www.al-huda.net/cari_arkib_arkib.php?id=17

Sabtu, 13 Maret 2010

Makna Muhasabah

Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)

Gambaran Umum Hadits

Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.

Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan

Hadits di atas dibuka Rasulullah dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses) adalah yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’ Ungkapan sederhana ini sungguh menggambarkan sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga kehidupan setelah kematian.

Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang sukses adalah yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah yang ‘rela’ mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’

Dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19.

Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.

Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw. mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.

Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ’berangan-angan terhadap Allah.’ Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.

Urgensi Muhasabah

Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.

1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:

‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.

Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.

2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:

‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.

Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.

3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].

Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi

Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.

1.Aspek Ibadah

Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]

2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki

Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)

3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman

Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)

Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.

4. Aspek Dakwah

Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.

Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu sendiri.

Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]

sumber:dakwatuna.com

Senin, 15 Februari 2010

Menguak Tabir Valentine’s Day

Hari Valentine (St. Valentine’s Day) sangat populer di negara-negara Eropa dan Amerika. Pada hari itu, kaum remaja merayakannya dengan hura-hura. Mereka datang ke pesta-pesta, berdansa semalam suntuk, saling memberi hadiah coklat, dan pergi bersama pasangannya ke tempat-tempat yang dianggap romantis. Bahkan hal-hal yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri juga mereka lakukan. Naudzubillah min dzalik.

Bagaimana di Indonesia? Aroma Hari Valentine kini juga sangat menyengat di tanah air. Tak beda jauh dengan remaja-remaja luar negeri sana, mereka yang notabene muslim-muslimah ikut-ikutan merayakan hari kasih sayang. Mereka menjiplak habis-habisan perilaku permisif dan serba halal yang dilakukan orang Barat. Pasangan muda-mudi saling memberikan kartu berisi ungkapan-ungkapan cinta, puitis dan romantis.
Sarat dengan ucapan yang membangkitkan syahwat.

Fenomena Valentine’s Day pun menjadi ajang bisnis menggiurkan. Para pelaku bisnis -ironisnya sebagian besar juga muslim- ikut andil dalam menyemarakkan hari kasih sayang. Diluncurkanlah produk-produk terbaru yang bernuansa ‘cinta’. Seperti parcel valentine, pernak-pernik serba pink, berbentuk daun waru, dan kartu valentine dengan berbagai desain lengkap dengan kata-kata puitis penuh ungkapan cinta.

Pusat perbelanjaan, hotel, restoran, kafe, outlet dan bahkan kantor-kantor juga dihiasi dengan nuansa valentine. Entah itu berupa spanduk berisi slogan-slogan, pita-pita, balon dan pernak-pernik serba pink. Bahkan mereka juga mengaitkan promosi produknya dengan Hari Valentine. Semisal dengan menggelar sale bertajuk ‘Memperingati Valentine’s Day, Sale Up to 70%’ atau ‘Ikuti Gebyar Undian Valentine’s Day.’

Tak kalah serunya, tempat hiburan seperti hotel, kafe atau restoran juga menggelar acara khusus bertajuk peringatan hari kasih sayang. Biasanya berupa acara dinner disertai hiburan live music, diiringi games yang diikuti pasangan muda-mudi, lalu dansa-dansi bersama, dan seterusnya.

Media massa pun cukup besar kontribusinya dalam ‘mempromosikan’ perayaan hari kasih sayang tersebut. Bagaimana tidak, pemberitaan pun dikait-kaitkan dengan Hari Valentine. Semisal dalam lead sebuah berita
tertulis ‘Menjelang peringatan Hari Valentine, omzet coklat naik tajam.’ Atau ‘Artis Ayu Kemayu merayakan Valentine’s Day bersama kekasih barunya’ atau ‘Biar romantis, pasangan artis Dona dan Doni menikah di Hari Valentine.’ Dan masih banyak lagi pemberitaan di media massa yang dikait-kaitkan dengan Valentine’s Day.

Sementara iklan-iklan produk yang juga dikaitkan dengan Valentine’s Day takkalah semaraknya, baik di media cetak maupun televisi. Dengan gencarnya pemberitaan dan iklan semacam itu, tentu saja opini tentang adanya Valentine’s Day dan keharusan untuk merayakannya semakin menguat. Otomatis remaja semakin merasa penting untuk terlibat di dalamnya. Jika tidak, dirinya akan merasa kuper, kuno dan tidak
trendy. Sebaliknya, dengan merayakan Valentine’s day mereka akan bangga karena menjadi remaja masa kini yang gaul dan tidak ketinggalan zaman.

Pada akhirnya orang tua akan semakin memberi kelonggaran kepada anak-anaknya untuk merayakan hari tersebut, karena menganggap sebagai hal yang lumrah. Sebagai orang tua yang hidup di zaman modern, mereka tidak mau disebut ortu yang kolot sehingga membebek mengikuti apa saja selera anaknya. Bahkan tidak sedikit orang tua semacam itu yang juga ikut merayakan hari kasih sayang. Mereka yang mengaku sebagai ortu ‘modern’, layaknya pasangan muda-mudi saja, saling memberi hadiah pada pasangannya, bahkan memanfaatkan momen tersebut untuk bulan madu kembali. Well, Velantine’s Day benar-benar sudah menjadi epidemi di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali kaum muslimin dan muslimah.

Akibat Lemahnya Aqidah

Bila kita cermati, kaum muslimin ikut merayakan Valentine’s Day, karena minimnya pemahaman umat Islam tentang hakikat hari tersebut. Muslim-muslimah banyak yang tidak faham latar belakang dan sejarah munculnya Valentie’s Day yang notabene bukan dari Islam. Di sisi lain, pemahamam mereka terhadap ajaran Islam sendiri juga sangat lemah. Aqidah yang tidak menancap kuat dan ketidaktahuan akan hukum-hukum syariat Islam terkait dengan perbuatan, membuat umat Islam begitu bodoh dan mudah tertipu. Sehingga, begitu muncul produk atau aktivitas-aktivitas baru yang sebetulnya bertentangan dengan Islam, mereka tidak memiliki kemampuan menyaring, memilah atau membandingkan, apakah ini halal atau haram, boleh atau tidak. Akhirnya, tanpa mereka sadari mereka mengikuti saja arus yang mengalir di masyarakat.

Bukan itu saja, pengaruh lingkungan pergaulan juga cukup besar. Remaja yang biasa bergaul bebas muda-mudi, biasa pacaran, akan sangat terpesona dengan jargon hari kasih sayang. Sementara remaja baik-baik yang tadinya cuek dengan hari tersebut, bila bergaul dengan para aktivis Valentine’s Day, tentu saja mau tidak mau terpengaruh untuk ikut meramaikannya.

Hal ini juga tidak terlepas dari longgarnya pengawasan ortu. Bahkan ortu malah memberikan dukungan kepada anaknya untuk merayakan hari tersebut. Misal dengan dukungan dana untuk merayakannya, diberi
kelonggaran keluar pada tanggal 14 Februari, atau dibolehkan berdua-duaan dengan pasangannya.

Selain itu pola pendidikan yang tidak sesuai aturan agama menyebabkan anak mudah dipengaruhi oleh lingkungan yang kebanyakan melanggar norma-norma adat dan agama itu sendiri. Lengkaplah sudah dorongan bagi mereka untuk terjerumus ke dalam lembah kesalahan. Semua itu dilakukan dengan dalih modernitas, trendy dan gaul. Batasan halal-haram dan norma-norma agama dicampakkan begitu saja. Itulah potret umat di masa kini yang begitu memprihatinkan.

Sejarah Valentine

Perayaan Hari Kasih Sayang ini memiliki perpaduan sebuah tradisi yang bernuansa Kristiani dan Roma kuno. Dan memang ada beberapa versi yang menjelaskan asal muasal perayaan Valentine’s Day. Salah satu versi
menyebutkan, dahulu ada seorang pemimpin agama Katolik bernama Valentine bersama rekannya Santo Marius yang secara diam-diam menentang kebijakan pemerintahan Kaisar Claudius II (268-270 M) kala
itu. Pasalnya, kaisar tersebut menganggap bahwa seorang pemuda yang belum berkeluarga akan lebih baik performanya ketika berperang. Karena itu, ia melarang para pemuda untuk menikah demi menciptakan prajurit perang yang potensial. Nah, Valentine tidak setuju dengan peraturan tersebut. Ia secara diam-diam tetap menikahkan setiap pasangan muda-mudi yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia. Namun ibarat pepatah sepandai-pandai tupai melompat, ia akan jatuh juga. Demikian pula dengan aksi yang dilakukan Valentine, lambat laun pun tercium oleh Claudius II.

Valentine harus menanggung perbuatannya, dijebloskan ke penjara dan diancam hukuman mati. Dalam legenda ini, Valentine didapati jatuh hati kepada anak gadis seorang sipir, penjaga penjara. Gadis yang dikasihinya senantiasa setia untuk menjenguk Valentine di penjara kala itu. Tragisnya, sebelum ajal tiba bagi Valentine, ia meninggalkan pesan dalam sebuah surat untuknya. Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini- “From Your Valentine.”

Ekspresi dari perwujudan cinta Valentine terhadap gadis yang dicintainya itu masih terus digunakan oleh orang-orang masa kini. Sementara itu, The Encyclopedia Britannica, Vol. 12 halaman 242 menyebutkan, kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat The World Book Encyclopedia, 1998).

Sejak itu mengirimkan kartu bertuliskan “Be My Valentine” menjadi tradisi mengikuti hari kasih sayang. Sekitar 200 tahun sesudah kisah di atas, Paus Gelasius meresmikan tanggal 14 Februari tahun 496 sesudah Masehi sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine. Gelar Saint atau Santo diberikan karena kebaikan dan ketulusannya menolong muda-mudi yang jatuh cinta untuk melangsungkan pernikahan. Untuk mengagungkan St. Valentine yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai ‘upacara keagamaan’.

Tetapi sejak abad 16 M, ‘upacara keagamaan’ tersebut mulai berangsur-angsur hilang dan berubah menjadi ‘perayaan bukan keagamaan’. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Lupercalia” yang jatuh pada tanggal 15 Februari. Ya, versi lain tentang Valentine menjelaskan bahwa hari itu berkaitan dengan tradisi kuno bangsa Romawi. Dimulai pada zaman Roma kuno tanggal 14 Febuari, yang merupakan hari raya untuk memperingati Dewi Juno. Ia merupakan ratu dari segala dewa dan dewi kepercayaan bangsa Roma. Orang Romawi pun mengakui kalau dewi ini merupakan dewi bagi kaum perempuan dan perkawinan. Dan sehari setelahnya yaitu tanggal 15 Februari merupakan perayaan Lupercalia.

Pada perayaan Lupercalia inilah, remaja-remaja lelaki dan perempuan harus dipisahkan satu sama lain. Namun, pada malam sebelum Lupercalia, nama-nama anak perempuan Romawi yang sudah ditulis di atas kertas dimasukkan ke dalam botol. Nah, setiap anak lelaki akan menarik sebuah kertas. Dan anak perempuan yang namanya tertulis di atas kertas itulah yang akan menjadi pasangannya selama festival Lupercalia berlangsung, keesokan harinya. Kadang-kadang, kebersamaan tersebut bertahan hingga lama. Akhirnya, pasangan tersebut saling jatuh cinta dan menikah di kemudian hari.

Dalam legenda ini ada pula sosok yang disebut Cupid (berarti: the desire), yakni si bayi bersayap dengan panah yang digambarkan sebagai lambing cinta. Cupid ini adalah putra Nimrod The Hunter, dewa Matahari. Disebut Tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri.

Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani, pesta Lupercalia kemudian dikaitkan dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai ‘hari kasih sayang’ juga
dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropa bahwa waktu ‘kasih sayang’ itu mulai bersemi ‘bagai burung jantan dan betina’ pada tanggal 14 Februari.

Dalam bahasa Perancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata “Galentine” yang berarti ‘galant atau cinta’. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berfikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada tanggal 14 Februari. Namun dengan berkembangnya zaman, legenda tentang seorang martir bernama St. Valentino terus bergeser jauh dari pengertian sebenarnya.

Manusia pada zaman sekarang tidak lagi mengetahui dengan jelas asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang ini orang mengenal Valentine melalui greeting card, pesta persaudaraan, tukar kado (bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1.700 tahun yang lalu. Dan sayangnya, umat Islam pun turut serta mengikuti dan membebek saja. Padahal jelas-jelas sejarah perayaan itu sendiri sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam, dan bahkan sangat bertentangan dengan ajaran Islam karena justru bermula dari ajaran agama lain.

Maksiat dan Sia-sia

Terlepas dari sejarah lahirnya Valentine’s Day yang nyata-nyata bukan dari Islam, bila kita tilik perayaan Valentine’s Day, maka seluruhnya melanggar syara’. Tidak ada sedikitpun nilai kebaikan dari perayaan
tersebut. Meskipun dengan alasan mengungkapkan kasih-sayang kepada sesama, tetap bukan alasan pembenaran bagi perayaan Hari Valentine. Tengok saja, Valentine’s Day umumnya dirayakan oleh pasangan
muda-mudi. Seorang pemuda yang menyukai lawan jenisnya, akan mengirimkan kartu ucapan selamat, bunga mawar merah atau memberi hadiah coklat kepada cewek idamannya itu. Jelas ini aktivitas yang
tidak dibenarkan dalam Islam karena dapat membangkitkat syahwat, sementara mereka belum terikat dengan tali pernikahan yang dapat menjadi penyalurannya.

Sementara pasangan muda-mudi yang sudah saling dimabuk asmara, lebih parah lagi. Mereka akan merayakannya berdua-duaan, menyepi, bermesra-mesraan dan tak jarang diakhiri dengan hubungan suami-istri. Na’udzubillahi min zalik. Jelas ini aktivitas yang diharamkan oleh Allah. Mereka sudah melakukan dosa berkhalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram), mendekati zina dan bahkan berzina itu
sendiri.

Padahal Allah Swt melarang keras umat-Nya untuk mendekati zina, apalagi sampai berzina beneran. Ingatlah firman Allah Swt yang artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu
perbuatan tercela dan jalan yang buruk.” (Al-Isra:32). Sebagian remaja lainnya membenarkan Hari Valentine karena toh merayakannya beramai-ramai dan nggak sampai berzina. Misalnya sekadar jalan-jalan bareng ke tempat wisata, makan-makan rame-rame di kafe atau nonton live music di hotel. Inipun tetap melanggar Islam karena Allah melarang kita untuk berikhtilat alias bercampur baur laki-laki perempuan yang tidak ada keperluan syar’i. Ini juga termasuk aktivitas hura-hura yang sangat dibenci Allah Swt.

Bagaimana dengan perayaan Valentine’s Day yang dilakukan sepasang suami istri? Setali tiga uang alias sama saja. Dalam hal ini mereka terkena hukum tasyabuh, yakni mengikuti kebiasaan orang kafir. Ya, sebab Valentine’s Day adalah hari raya milik orang kafir yang tidak boleh diikuti kaum muslimin. Perayaan hari besar adalah menyangkut masalah aqidah dan sama sekali tidak ada toleransi dalam hal ini.

Alquran maupun Sunnah secara syar’i melarang tasyabuh dalam segala bentuk dan sifatnya, baik masalah aqidah, ibadah, budaya, maupun tingkah laku. Allah berfirman dalam Surat An-Nisaa: 115 yang artinya:
”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”

Rasulullah juga bersabda “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alayhi amrunaa fa huwa raddun” yang artinya: “Siapa saja melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntunanku, maka perbuatan itu akan tertolak” (HR Bukhari).

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang Valentine s Day mengatakan: merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena: pertama, ia merupakan hari raya bid’ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syariat Islam. Kedua, ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) –semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya.

Lebih dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup orang kafir akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati pada mereke. Allah Swt telah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)

Lalu bagaimana dengan ucapan Be My Valentine? Ken Sweiger dalam artikel Should Biblical Christians Observe It? (www.korrnet.org) mengatakan kata Valentine berasal dari Latin yang berarti “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa.” Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, Tuhannya bangsa Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my
Valentine”, hal itu berarti memintanya menjadi Sang Maha Kuasa dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut syirik alias menyekutukan Allah Swt.

Kalau sekadar memberi ucapan selamat merayakan Hari Valentine? Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati haram hukumnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu menunjukkan dukungan dan restunya pada ritual agama lain. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Abu Waqid Radhiallaahu anhu meriwayatkan: Rasulullah Saw saat keluar menuju perang Khaibar, melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath. Biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, Buatkan untuk kami Tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).

Jelaslah, tidak ada sedikitpun kebolehan bagi umat Islam untuk mengikuti kebiasaan orang kafir. Menyerupai orang kafir sama halnya dengan ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap rakaat shalatnya membaca, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.“(Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan
sesat itu dengan sukarela.

Senjata Melenakan Umat

Di abad milenium ini, Valentine’s Day sejatinya sengaja dijajakan ke penjuru dunia sebagai bagian dari skenario liberalisasi (kebebasan). Hari Kasih Sayang sengaja dicekokkan ke benak umat Islam untuk
melenakan mereka dengan aktivitas yang melanggar syara’. Dengan aktivitas ini, sedikit demi sedikit umat Islam diarahkan untuk semakin menjauh dari aqidah Islam.

Allah telah berfirman yang artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (TQS Al-Baqaroh: 120)

Jelas sudah bahwa mereka senantiasa benci kepada kita kecuali kita berpartisipasi pada acara ritual mereka, model pakaian dan pola pikir yang mereka miliki. Perayaan valentine adalah salah satu sarana mereka untuk memurtadkan kita secara perlahan tapi pasti, tanpa kita sadari. Karena itu, wahai kaum muslimin dan muslimah, jangan tertipu slogan kasih sayang yang menjerumuskan.

Sumber: syabab.com