Selasa, 07 Juli 2009

Pemimpin Dalam Pandangan Islam

Pemimpin bukan seorang penguasa, karena penguasa cenderung mengeksploitasi kekayaan negeri untuk kepentingan pribadi. Pemimpin bukan pemerintah, karena pemerintah cenderung menganggap rakyat sebagai jongos. Saya masih ingat Syaikh Muhammad Abduh seorang pemikir muslim terkemuka pernah mengatakan:

“Al amiiru laa man qaada biawaamirihii, bal man qaada bi afa’aalihii (pemimpin bukan seorang yang memimpin dengan perintah-perintahnya, melainkan yang memimpin dengan perbuatannya)”.

Pemimpin bukan raja, karena raja cenderung hanya mengurus dirinya dari pada rakyatnya. Raja lebih identik kepada pemilik kerajaan dan kekayaan yang ada di dalamnya, sementara rakyat hanya budak yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

Pemimpin dalam Islam adalah seorang pelayan. Karenanya ia bukan kemulyaan (tasyriif) melainkan tugas dan beban (takliif). Dalam Al Qur’an Allah subhaanahuu wata’aala menggunakan istilah khalifah, yang artinya wakil. Maksudnya adalah seorang yang mewakili Allah di bumi untuk melaksanakan segala aturan dan hukum-hukumNya. Berdasarkan makna ini maka seorang pemimpin yang tidak ikut Allah tidak pantas diberi gelar khalifah. Bila seorang pemimpin mewakili Allah, otomatis ia pasti akan mewakili rakyatnya. Sebagai wakil rakyat maka tidak akan pernah mendhalimi mereka.

Namun akhir-akhir ini pemimpin dalam arti sebagai pelayan kurang ditonjolkan. Sehingga rakyat yang sebenarnya memegang posisi paling tinggi malah direndahkan. Sementara para pemimpin justeru sibuk memperkaya diri di atas penderitaan rakyatnya. Berbagai janji digelar menjelang pemilihan umum, bahkan tidak sedikit yang secara diam-diam membeli dukungan dengan harga yang tidak tanggung-tanggung. Namun begitu kepemimpinan diraih, janji hanya menjadi janji, dan rakyat terus mengalami penderitaan.

Sungguh tidak mungkin rakyat menemukan ketenangan di bawah naungan seorang pemimpin pembohong. Rakyat tidak membutuhkan janji-janji palsu. Rakyat memilih karena mereka tulus menginginkan kebaikan. Tetapi di manakah kini pemimpin yang benar-benar jujur. Pemimpin yang takut kepada Allah, sehingga amanah yang dipikulnya dilaksanakan secara maksimal.

Lihatlah Rasulullah sallallhu alaihi wa sallam, ketika memimpin. Bagaimana ia telah berhasil membangun persaudaraan, sehingga semua merasa aman di bawah kepemimpinannya. Belum pernah ada cerita bahwa seorang Yahudi atau Nasrani didzalimi pada zamannya. Bahkan yang sering kita dapatkan adalah kisah bagaimana Rasulullah sallallhu alaihi wa sallam selalu memberikan makan kepada seorang Yahudi yang buta, membela hak-hak mereka, sepanjang mereka tidak melakukan pengkhianatan. Bukan hanya ini, Rasulullah sangat tegas menegakkan aturan. Diriwayatkan bahwa beliau pernah bersabda: ”Law anna faatimata binti Muhammad saraqat la qatha’tu Yadahaa (bila Fatimah putri Muhammad mencuri, maka akan aku potong tangannya)”.

Contoh lain lagi tercermin pada kepemimpinan Abu Bakar Ash shiddiq radhiyallahu anhu yang penuh dengan ketegasan dalam menjaga agama. Sekecil apapun yang merongrong agama, segera di atasi oleh Abu Bakar sedini mungkin. Itu nampak ketika Abu Bakar memerangi orang-orang yang menolak zakat. Abu Bakar berkata: ”Lauqaatilanna man yumayyizu bainash shalaati waz zakaati (akan aku perangi orang-orang yang membedakan antara shalat dan zakat)”.

Abu Bakar memang secara fisik kurus, tidak segagah Umar bin Khaththab, tetapi dari segi ketegasan dan keberanian dalam mengambil keputusan, Abu Bakar lebih kuat. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menentukan arah orientasi kepemimpinan yang penuh dengan tantangan internal maupun ekternal bangsa sangat dibutuhkan kepemimpinan yang tegas dan berani seperti Abu Bakar.

Umar bin Khaththab hadir dalam kancah kepemimpinan Islam dengan pola yang lain lagi. Diriwayatkan bahwa Umar, masih makan roti kering dan memakai baju yang penuh tambalan, justeru di saat ia mencapai puncak keemasan. Setiap malam Umar keliling dari rumah ke rumah, membantu orang-orang yang lumpuh. Umar juga sempat membelikan kebutuhan sehari-hari bagi para janda yang suaminya gugur di medan tempur.

Dikisahkan bahwa suatu malam Umar keliling mengecek kondisi rakyatnya. Dari jauh nampak ada sebuah lampu menyala. Begitu Umar mendekatinya, terlihat seorang ibu sedang masak dan di sampingnya anak-anak kecil sedang menangis. Ketika Umar bertanya, sang ibu menjawab: ”Anakku sedang lapar, dan aku memasak batu, supaya anakku tenang.” Mendengar hal itu, Umar langsung mengambil bahan bakanan dan menggendongnya sendiri dari Baitul Maal di malam itu juga. Bahkan Umar sendiri langsung memasaknya.

Perhatikan betapa sampai sedetil ini Umar menyadari hakikat tanggung jawab kepemimpinan. Selain itu, suatu hari Umar pernah berkata: ”Lain nimtunnahaar dhayya’turra’iyyah wa lain nimtullail dhayya’tu nafsii (bila aku tidur di siang hari, aku telah abaikan rakyatku, dan bila aku tidur di malam hari aku telah abaikan diriku sendiri)”.

Suatu ungkapan yang pantas dijadikan pedoman dan ditulis dengan tinta emas oleh setiap pemimpin. Wallahu a’lam bishshwab.

Sumber: dakwatuna.com